Kamis, 20 Agustus 2015

Tuhan, Jangan Dulu Ambil Mereka...

Di tengah kesibukan di kantor, tiba-tiba saja saya punya pikiran random. Baru saja ada setumpuk pengajuan uang duka bagi karyawan yang orang tuanya meninggal dunia. "Banyak juga ya kali ini..." pikir saya. Dan dimulailah pikiran-pikiran random. Hitung-hitung usia mereka rata-rata 65-75 tahun. Ah, pada umumnya orang Indonesia jaman sekarang memang meninggalnya usia segitu kalau tidak karena kasus khusus. Tanpa bermaksud mendahului Tuhan, tanpa bermaksud melangkahi kehendak Tuhan, saya iseng hitung usia orang tua saya. Tahun ini usia papi 58 tahun dan usia mami 53 tahun. Itu berarti kalau dihitung berdasarkan panjangnya usia orang Indonesia pada umumnya, saya hanya punya waktu kira-kira 15 tahun lagi buat bisa bareng-bareng sama mereka. AAAAAA... 15 tahun itu khan sebentaaaaar... Sampai usia segini aja kadang pengen pulang kok, kangen sama mereka. Menyadari bahwa apa yang saya punya di dunia ini cuma titipan Tuhan, saya langsung komat-kamit "Please Tuhan Pleaseeeeee... Jangan ambil mereka dulu doooong..."

Saya tumbuh sebagai anak yang tergolong cerdas diantara anak-anak seumuran saya, iya... mereka bilang mereka bahagia...
Saya tumbuh sebagai anak yang penurut, sopan, tau tata krama, iya... mereka bilang mereka bahagia...
Saya punya beberapa prestasi meskipun tidak banyak, tapi ya iya... mereka bilang mereka bahagia...
Saya berhasil lulus kuliah tepat waktu dan langsung mendapat pekerjaan yang bisa dibilang mapan, iya... mereka bilang mereka bahagia...

Tapi...

Saya yang ketika kecil suka rewel ga jelas, pasti terkadang bikin mereka ngerasa cape meskipun ga pernah ngeluh...
Saya yang terkadang suka ngejawab kalau dimarahin, pasti bikin mereka sedih meskipun ga pernah bilang...
Saya yang suka manjanya kumat, pasti bikin mereka kewalahan meskipun mereka ga pernah ngeluh...
Saya yang terkadang suka ngomong dengan nada tinggi karena kebawa cape, pasti juga bikin mereka terpukul meskipun ga pernah bilang...
Saya yang suka lama bales sms atau Whatsapp ketika sudah kerja jauh, pasti juga bikin mereka khawatir dan terkadang merasa dilupakan sama anaknya...
Dan sederet kenakalan-kenakalan lainnya...

Mengingat bahwa sabar dan rasa sayang mereka ke saya ga ada batasnya, saya menyadari bahwa apa yang sudah saya upayakan untuk bahagiain mereka itu belum ada apa-apanya. Pikiran random tadi semakin bikin saya deg-degan. Takut mereka belum cukup bahagia karena saya. Meskipun saya ga akan pernah bisa bales kebaikan mereka, tapi saya pengen setidaknya sampai akhir kehidupan mereka nanti saya sudah cukup bisa membahagiakan mereka.

Teringat keinginan-keinginan mereka yang lagi santer mereka dengungkan...
"Kamu kalau ga nyaman sama kerjaanmu keluar aja. Cari kerjaan yang bikin kamu nyaman."
"Kamu jangan sembarangan cari calon suami. Papi mami ga bisa terus nemenin kamu nantinya kamu hidup ya sama dia."
"Kamu harus jadi orang yang berhasil ya jangan malu-maluin keluarga."
"Nanti kamu punya rumah yang bagus ya, Nik biar kamu betah. Kamu khan susah kalau suruh tinggal di tempat yang ya gitulah kamu tau maksud mami."
Papi yang sudah mulai kegirangan setiap ngeliat anak kecil apalagi ngeliat pasangan muda lagi bawa anak kecil pas lagi jalan-jalan. Itu kode keras banget.

Ah, jadi kangen pengen pulang. Rasanya waktu yang dihabiskan dengan mereka jadi begitu berharga kalau mengingat pikiran-pikiran random tadi.

Mudah-mudahan satu per satu bisa saya wujudkan sebelum Tuhan ambil mereka. Jika Tuhan berkehendak pasti jalannya akan dimudahkan. Doa dari mereka untuk saya juga ga kurang-kurang kok. Saya harus yakin bahwa saya bisa bikin mereka bahagia asalkan saya mau berusaha.

Selasa, 04 Agustus 2015

Masih Perlukah Kita Bertanya "Apa Agamamu?"

Puji Tuhan, beberapa waktu yang lalu saya diberikan kesempatan untuk menginjakkan kaki di Jepang. Ya! Negara yang sudah lama saya impi-impikan untuk bisa saya datangi. Tuhan memang baik, menjawab doa saya di waktu yang telah Ia tentukan :)

Later, saya akan tulis tentang perjalanan, transportasi selama disana, makanan, tempat-tempat yang saya datangi, dan lain sebagainya. Tapi sekarang, saya lebih tertarik untuk bercerita tentang kesan pertama saya waktu disana.

Kota pertama yang saya kunjungi adalah Osaka. Bersih sekali. Cuma itu yang ada di pikiran saya. Setelah turun dari kereta dan mulai berinteraksi langsung dengan warga disana, saya pun merasakan kehangatan. Memang benar kalau kata orang, Indonesia itu ramah. Namun, Jepang menawarkan hal yang berbeda. Bukan sekedar keramahan pada orang asing tapi sikap supel dan ringan tangan yang begitu mudah ditemui. Ketika kita bertanya, mereka terlihat sangat berusaha untuk membuat kita mengerti meskipun dengan penyampaian yang seadanya karena keterbatasan bahasa. Beberapa kali saya menanyakan tentang lokasi yang ingin saya tuju. Mereka berusaha untuk bisa membantu dan membuat saya mengerti.

Suatu hari saya berpapasan dengan orang yang berbeda arah perjalanan dengan saya. Saya menanyakan dimana station yang akan saya tuju dan langsung orang tersebut memutar arah dan bersedia mengantar saya ke gerbang station yang saya maksud. Di lain waktu, saya bertanya kepada orang yang berbeda mengenai kereta mana yang harus saya naiki. Dia dengan sabar membuka handphone mencari petunjuk dan menjelaskan kepada saya dan nyaris ketinggalan kereta yang harus ia naiki. Saya berkata, "Terima kasih, terima kasih. Saya uda ngerti. Itu kamu hampir ketinggalan keretamu." Tapi dia jawab, "Engga, ga masalah. Ini kamu uda paham belum?" Padahal jika tahu keretanya sebentar lagi akan datang, bisa saja dia bilang, "Coba kamu tanya ke bagian informasi. Maaf yaa, saya ga bisa bantu kamu." Astagaaaa, mudah sekali menemukan orang yang tulus membantu disana.

Budaya naik kereta pun berbeda dengan disini. Mereka terbiasa untuk berbaris. Tidak ada satu pun yang main serobot meskipun sedang terburu-buru. Di dalam kereta, meskipun sibuk dengan gadget masing-masing tapi mereka punya toleransi tinggi untuk tidak mengganggu orang lain. Mereka terbiasa untuk tidak membunyikan ringtones, tidak berbicara keras-keras hingga mengganggu penumpang lainnya. Perempuan-perempuan disana pun juga tidak kalah menyita perhatian saya. Di kereta mereka duduk dengan rapi. Hanya sedikit yang menaikkan satu kaki di atas kaki yang lainnya layaknya wanita pada umumnya. Duduk dengan kaki rapat. Mana ada perempuan yang duduknya ngangkang ngga sopan disana?!

Kota yang bersih tentu saja sangat didukung warganya yang punya kesadaran tinggi untuk tidak membuang sampah sembarangan. Di Indonesia sedang diupayakan banyak tempat sampah di tempat-tempat umum supaya warganya tidak malas untuk membuang sampah. Tadinya saya berpikir disana juga banyak tempat sampah makanya bisa bersih gitu. Ternyata cari tempat sampah tuh susahnya minta ampun! Warganya terbiasa untuk menyimpan sampah dulu baru nantinya dibuang di tempat sampah yang cukup jarang ditemui. Salut.

Ketika menggunakan eskalator pun juga teratur. Lajur kiri biasanya untuk orang-orang yang tidak butuh berjalan cepat sedangkan lajur kanan dikosongkan untuk menyediakan jalan bagi orang-orang yang ingin berjalan cepat.

Saya menyimpulkan bahwa inti dari semua itu adalah penghargaan dan kepedulian. Menghargai keberadaan dan kepentingan orang lain. Kepedulian pada yang lain. Kepedulian untuk sebisa mungkin tidak mengganggu kepentingan orang lain. Kepedulian untuk sebisa mungkin membantu orang lain.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, agama mayoritas penduduk Jepang adalah Shinto. Sisanya ada yang memeluk agama Budha, Kristen, Katolik dan dengan prosentase yang lebih kecil lagi ada juga yang memeluk agama Islam. Banyak juga yang tidak memeluk agama apapun.

Mereka memiliki toleransi yang begitu tinggi, seperti ikut merayakan Natal ketika Natal tiba. Tidak enggan untuk ikut berpuasa ketika umat Muslim berpuasa. Tak jarang juga mereka berdoa ke vihara seperti pemeluk agama Budha. Namun, pada prinsipnya mereka tetap pada keyakinan mereka masing-masing.

Saya merasa malu. Hidup di negara yang orang-orangnya mengaku mematuhi perintah agama, yang mengatasnamakan agama dalam setiap hal yang dilakukan namun tidak memiliki rasa kepedulian yang tinggi kepada yang lain. Hidup semau-maunya seolah tidak sadar kita hidup di dunia ini bukan sendiri saja. Katanya agama itu untuk mengarahkan hidup supaya lebih baik lagi? Tapi kenapa di negara yang tidak begitu fanatik bahkan banyak juga yang tidak beragama, saya justru menemukan orang-orang dengan rasa kepedulian yang lebih tinggi?

Sebelum kita saling bertanya, "Apa agamamu?" sebaiknya berbenah diri dulu apakah kita sudah bersikap seperti yang diajarkan Tuhan kita yang bahkan jauh lebih dimengerti oleh orang yang tidak beragama.