Kamis, 19 Mei 2016

Rest in (Peace?) PKN dan Agama

Masuk akal ngga kalau saya rasa pelajaran PKN dan pelajaran agama sudah mati sekarang ini? Sepengalaman saya, dulu saya mendapat pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama sejak saya duduk di bangku kelas 1 SD dan berlanjut hingga SMA. Oh maaf, bahkan sampai bangku kuliah. Ketika kuliah, pelajaran PKN saya dapatkan di satu semester awal dan satu semester akhir. Jujur waktu itu, saya juga seperti anak-anak yang lain. Saya selalu berpikir untuk apa ada pelajaran seperti ini yang jawabannya mudah sekali ditebak, mana perbuatan tercela dan mana perbuatan terpuji. Soal-soal bisa kita kerjakan sambil ngobrol sama temen sebelah. Begitu halnya dengan pelajaran agama yang terkesan membosankan bagi saya karena semuanya sudah sering saya pelajari. Ironisnya lagi, sebagian guru PKN dan agama pun juga seolah menganggap enteng mata pelajaran itu sehingga tak jarang mereka menyampaikan pelajaran itu sambil lalu dan menyuruh para siswa mengerjakan soal-soal yang dapat dengan mudah dikerjakan oleh anak didiknya tanpa diikuti pembahasan setelahnya. Mereka tidak merasa perlu melakukan variasi penyampaian materi karena PKN tidak serumit Fisika atau Matematika yang seringkali butuh teknik-teknik mengajar supaya para siswa dapat menangkap dengan baik pelajaran tersebut dan syukur" bisa cinta sama pelajaran itu. PKN dan Agama tidak perlu! Toh para siswa akan bisa meraih nilai tinggi dengan mudah kok! Itu dulu khan? Jangan-jangan sekarang keadaannya beda. Ketika ada pertanyaan "Jika ada temanmu yang mencuri barang kesayanganmu maka hal yang harus kamu lakukan adalah...." alih-alih mereka menjawab "Menasihati teman itu bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak terpuji kemudian memaafkannya." jangan-jangan mereka akan menjawab "Datangi teman itu dan pukuli tangannya sebagai pembelajaran karena dia sudah berani mencuri." Dia paham bahwa mencuri adalah perbuatan tidak terpuji namun dia kurang mengerti bahwa membalas dan main hakim sendiri adalah perbuatan yang tidak terpuji juga. Nilai PKN dan Agama masih 90? Saya rasa tidak lagi.

Efeknya?

Masihkah saya perlu menyebutkan segala bentuk kejahatan, perbuatan-perbuatan asusila, tidak senonoh, dan tidak terpuji lainnya yang saat ini merebak di negara kita? Pelakunya pun dari segala macam kalangan, dari anak SD sampai yang sudah tua sekalipun, dari orang berpendidikan maupun orang tak berpendidikan. Alasannya? Bermacam-macam juga. Ada yang bilang karena alasan ekonomi, dendam, hingga melakukannya tanpa sadar.

Sebutlah kasus mutilasi yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, kasus-kasus kecelakaan yang memakan banyak korban jiwa, pembunuhan terhadap mantan kekasih karena diselimuti dendam, hingga kasus terakhir yang begitu membuat hati saya sakit sebagai seorang wanita yaitu kasus pemerkosaan Yuyun (siswi SMP berusia 14 tahun) oleh 14 pemuda dan setelahnya Yuyun harus mengakhiri hidupnya seusai melayani nafsu bejat orang-orang itu dalam keadaan tanpa pakaian sekaligus vagina dan anus sudah menyatu. Yang makin bikin saya elus dada adalah realitanya panggung drama politik lebih menarik daripada kasus pemerkosaan itu. Eksistensi moralitas nampak sudah tercabik-cabik.

Lalu bagaimana?

Jika kita masih peduli dengan moralitas di negara kita, tidak ada salahnya kita mulai dari lingkungan kecil kita. Penanaman moral kepada anak-anak dan adik, usaha untuk menerapkan hal-hal baik yang kita dapat dari pelajaran moralitas yang sudah kita dapat baik di lingkungan keluarga maupun sekolah, serta kepedulian terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Berani untuk berkata benar atau salah. Tantangan pengajar di masa sekarang tentu saja akan lebih berat. Mereka tidak lagi bisa menganggap enteng metode pembelajaran PKN dan Agama namun mereka mulai dituntut untuk dapat menyampaikan materi-materi tersebut secara menarik, riil, dan lugas, sehingga harapannya dapat tertanam kuat dalam diri anak-anak didiknya. Memang banyak siswa yang akan bisa menyelesaikan soal-soal itu dengan baik tapi apakah pernah terpikirkan anak-anak yang hidup di lingkungan yang keras dan jauh dari pendidikan moral sehingga soal-soal PKN dan Agama bagi mereka adalah ujian yang sulit?

Tidak perlu hafal seluruh isi undang-undang secara detail tapi minimal kita masih punya rasa malu ketika akan mencontek pekerjaan teman atau melakukan plagiat ketika menyelesaikan tugas akhir. Tidak perlu kita hafal seluruh ayat kitab suci di usia yang masih dini tapi minimal kita bisa berbesar hati memaafkan dan mengasihi teman yang sudah tega menjegal kaki kita sehingga kita terjatuh dan terluka. Alangkah baiknya jika ibadah kita yang sudah baik di hadapan Tuhan disempurnakan dengan perasaan syukur akan apa yang sudah kita miliki sehingga tidak ada lagi keinginan memiliki yang bukan kepunyaan kita apalagi sampai menghalalkan segala cara hingga merampas hak orang lain.

Rabu, 11 Mei 2016

The Power of Love

Kasih sayang adalah anugerah Tuhan yang tidak terlihat tapi mampu dirasa dengan hati...
Meski tidak terlihat, energinya luar biasa besar...

Seorang Romo bercerita tentang seorang anak SMA yang hamil di luar nikah dan laki-lakinya sudah pergi entah kemana. Orang tuanya mengadu kepada Romo katanya, "Romo, tolong nasihatin anak saya supaya dia mau menggugurkan kandungannya." Jawab Romo itu, "Bapak menyuruh saya mendukung pengguguran kandungan?" Lalu  si ayah berkata lagi, "Karena jalan itu yang saat ini terbaik, Romo. Saya sudah bilang ke anak saya supaya cepat menggugurkan kandungan mumpung baru berusia 2 bulan tapi anak saya keukeuh ga mau. Saya sudah bilang gimana nanti dengan masa depan kamu, sekolahmu, terus kalau anak itu lahir akan lebih repot lagi. Hidupnya pasti hancur. Saya sayang sama anak saya, Romo. Saya ga mau masa depannya suram."

Selang beberapa hari, si anak menemui Romo dan menceritakan apa yang dialaminya. Dia bilang, "Romo, memang benar orang tua saya memaksa untuk menggugurkan kandungan. Semua saudara juga mendukung pendapat orang tua saya itu. Tapi saya ga mau. Saya mau rawat anak ini." Lalu Romo menjawab, "Kamu ingin merawat dan membesarkan anakmu itu?" Si anak menjawab lagi, "Iya, Romo. Saya akan bertanggungjawab. Saya ga tega kalau harus menggugurkan kandungan yang berarti bunuh anak saya sendiri." Romo pun kembali menimpali, "Kamu yakin dengan keputusanmu itu? Apa alasannya?" Si anak menjawab, "Romo, dari kecil saya berlimpah kasih sayang dari kedua orang tua saya, ga kurang-kurang. Dalam keluarga, saya merasakan kehangatan. Papa mama merawat dan membesarkan saya dengan sangaaaat baik. Dan sekarang, saya pun ingin anak saya merasakan hal yang sama, dapat merasakan limpahan kasih sayang Tuhan melalui saya sebagai ibunya."

Keputusan untuk tetap mempertahankan kandungan di luar nikah adalah keputusan yang berat. Apalagi dengan usia remaja yang masih dibilang masa-masanya untuk pencarian jati diri. Namun, hanya dengan alasan sederhana merasa dicintai dan merasa wajib untuk orang lain merasakan cinta darinya juga, seorang anak remaja berani untuk mengambil langkah besar. Hati saya bergetar mendengar cerita itu. Saya tidak pernah menyangka bahwa kekuatan kasih sayang se-massive itu. Ketika banyak remaja yang mengalami hal serupa memilih untuk mundur saja tapi dia berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Yang perlu kita lihat disini, bukan cerita hamil di luar nikah yang tentu saja tidak benar. Tapi, kasih sayang sebagai landasan dalam pengambilan keputusan. Kita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk dapat menerapkan dengan baik.

Terima kasih, Romo atas inspirasinya. Mari kita menebar kasih!