Minggu, 10 Juni 2018

Masih untuk Kamu

Pura-pura melupakanmu adalah ujian terberat di sepanjang hidupku.
Pura-pura mengacuhkanmu adalah hal terkejam yang pernah aku lakukan terhadap diriku sendiri.
Pura-pura bahagia menikmati hidup adalah rutinitasku saat ini.

Harus menyalahkan siapa selain diriku sendiri?

Aku yang membuat keputusan ini. Aku yang memutuskan pergi dari kehidupanmu. Aku yang menanggung kesedihannya sendiri juga. Aku yang harus menikmati setiap jengkal kerinduan yang menyesakkan itu.

Aku berharap hidup ini memiliki tombol rewind untuk semua keputusan yang aku anggap salah. Tapi apa manusia harus sepecundang itu? Dengan enaknya membuat keputusan dan dengan enaknya pula menginterupsi hasil keputusan itu sendiri.

Suatu ketika, jika aku berhasil keluar dari perangkap yang sudah aku buat sendiri ini. Hanya kamu yang paham, saat itulah aku akan menjadi manusia seutuhnya. Manusia merdeka dan bebas, tidak terikat apapun. Saat itu pula, mungkin kamu sudah bahagia dengan yang lain, yang dianggap ibumu pantas menjadi pendamping hidupmu.

Tuhan ini lelah tidak ya? Mendengar kicauanku yang itu-itu saja di sepertiga malamku. Tapi aku bingung harus dengan siapa lagi aku bercerita kalau tidak dengan Tuhanku. Sungguh, aku malu. Aku merasa bodoh.

Hampir di setiap malamku, yang teringat hanya pelukan hangatmu, satu-satunya hal yang selalu bisa menenangkanku. Kamu pernah berkata kepadaku, “Jari kita ini kalau disatuin waktu bergandengan tangan, rasanya udah yang paling pas ya?” Atau kamu pernah berkata juga, “Ketika badanku menyentuh badanmu, rasanya udah yang paling pas, paling fit. Ga bisa digantiin sama (ukuran) lain.” Aku tertawa kecil jika mengingatnya. Waktu itu aku hanya tersenyum mendengar perkataanmu. Tapi saat ini, aku dengan tegas mengiyakannya dalam hati.

Tapi, semuanya tidak mungkin bisa diulang bukan? Aku yang bodoh ini sudah memilih arah yang berbeda dengan jalanmu. Jika aku lelah bercerita panjang lebar kepada Tuhan, aku hanya berkata semoga Tuhan membahagiakanmu dimanapun kamu berada dan semoga Tuhan cepat mengambilku saja. Sepertinya indah hidup bersama Tuhan disana, setiap hari akan ada puji-pujian yang menggema untuk Tuhan. Hanya ada ketenangan. Tidak ada hiruk pikuk. Pun tidak penyesalan yang mendalam.

Bandung, 16 Februari 2018

Selasa, 01 Mei 2018

Hai, Kamu! Aku Rindu.

Hidup sejatinya bukan tentang menyakiti dan disakiti namun tentang Allah Sang Pemberi Hidup yang terus-menerus mengingatkan umat-Nya supaya tetap di jalan yang telah diatur-Nya.

Hai, apa kabar kamu disana? Semoga baik-baik saja dan semakin bahagia. Aku rindu. Oh, seandainya saja ibumu membaca tulisan ini, aku akan segera menghapusnya. Jangan khawatir. Aku hormat kepadanya layaknya aku hormat kepada orang tua lain. Mereka perpanjangan Tangan Tuhan untuk kita, maka aku pikir akan selalu baik jika kita menghormatinya termasuk dengan cara tidak melawannya.

Hari berganti, aku terkadang masih bingung apakah ini keputusan terbaik untuk kita? Kalau untuk ibumu tentu iya. Kalau untuk orang tuaku? Pastilah mereka bahagia jika aku nampak bahagia. Tapi untuk kita? Entahlah.

Ngomong-ngomong, aku suka sekali jika bumi berputar cepat. Kenapa? Supaya cepat pula perasaan ini semakin biasa saja. Aku tidak sanggup jika terkadang masih harus pura-pura tidak peduli jika semua tentangmu muncul di notifikasi sosial mediaku. Jika waktu semakin cepat berlalu, aku berharap kenangan tentang kita pun akan sekedar menjadi kenangan indah yang tak mengandung rasa. Kecuali keindahan itu sendiri.

Ah, sayang sekali. Semua yang telah kubangun denganmu seketika runtuh. Runtuh oleh egoku. Padahal tadinya semua berjalan baik termasuk penolakanku atas hal yang tadinya aku tidak mau jalani dan kamu penyelamatku. Tapi, aku tak sanggup diperlakukan rasis atau apalah itu orang menyebutnya. Aku tak sanggup mendengar kata-kata beliau yang sangat pedas meskipun disertai senyum dan tawa. Aku tak sanggup melihat ibumu sedih sekaligus marah setiap melihatku denganmu. Jika kamu tahu saat itu, aku hanya mencoba biasa saja. Sebenarnya ingin rasanya pergi saat itu juga. Tapi melihatmu begitu optimis, aku tak kuasa untuk menolak ajakanmu untuk kembali berjuang.

Sekarang, disini. Ada seorang laki-laki dan segenap keluarganya yang begitu menyayangiku. Dan tentunya menerimaku dengan sangat apa adanya aku. Aku rasa ini cukup. Aku capek menghapus airmata setiap teringat kata-kata ibumu. Aku rasa kebaikan hati mereka harus aku balas. Jika sesekali aku teringat tentang kamu, aku rasa itu hal yang sangat wajar karena terlalu banyak hal indah yang kita lewati bersama. Tentang aku menyakiti mereka atau tidak jika aku sedang seperti ini? Aku berharap tidak. Aku rasa Tuhan juga tahu persis posisinya.

Mari sama-sama berjuang untuk melebur rindu yang terkadang datang tanpa permisi ini. Oh, atau kamu sudah lebih dulu berhasil? Kalau begitu, aku harus banyak belajar darimu. Mungkin aku hanya kurang bersyukur saja dengan yang aku punya saat ini. Manusia memang seringkali kurangajar kepada Tuhannya.

Jarum panjang di jam dinding sudah menunjuk ke arah angka 10, nanti jika dia telah sampai di angka 12 aku harus cepat padamkan rasa rindu ini. Ah, asyik! Aku masih punya waktu sepuluh menit untuk menikmati rasa yang manis tapi pahit ini.

Sampai jumpa entah kapan. Yang pasti setelah aku sanggup memandangmu tanpa rasa kecuali rasa persahabatan. Doaku masih selalu teriring untuk kebahagiaanmu. Ternyata benar kata orang yang dulu sering aku katai mereka terlalu berlebihan, doa adalah cara terbaik untuk memeluk seseorang dari jauh. Baik-baik lah kamu disana :)

Bandung, 10 Februari 2018