Selasa, 23 Juni 2015

Peperangan Hati

Dua hari yang lalu saya mendapat sms yang ga ngenakin dari salah satu pengurus serikat pekerja. Oh iya, saya belum cerita. Jadi saya saat ini bekerja sebagai HR Section Chief di salah satu perusahaan textile manufacturing di Bandung. Pekerjaan ini salah satunya menuntut saya untuk sering-sering bernegosiasi dengan serikat pekerja yang terkadang asyik diajakin diskusi, kadang suka ngajakin berantem, tapi terkadang mereka juga lucu menggemaskan. *cross fingers*

Dari awal saya sudah tahu bahwa risiko bekerja di posisi ini adalah dibenci karyawan, mendapat perlakuan tidak mengenakkan, dan ujian-ujian kesabaran lainnya. Saya juga tahu betul bahwa hal-hal tersebut tidak mudah dijalani buat pribadi seperti saya. Saya yang sensitif... Saya yang ngga sabaran... Saya yang ga pinter mengelola emosi... Saya yang masih suka kebawa-bawa mood apalagi kalau lagi PMS. Tapi kenapa dua setengah tahun yang lalu akhirnya saya memutuskan untuk mengambil pekerjaan ini? Saya pikir saya harus keluar dari zona nyaman saya. Saya seharusnya tidak tinggal di lingkungan yang rasa-rasanya selalu bersahabat dengan saya. Saya butuh lingkungan untuk melatih manajemen emosi, belajar untuk tidak tergantung mood, dan lingkungan yang bisa membuat saya lebih sabar menghadapi berbagai macam hal.

Kembali ke cerita yang tadi. Pasca kejadian itu, saya bertekad untuk tidak lagi berhubungan dengan orang tersebut secara langsung. Saya juga bertekad untuk tidak akan pernah memaafkan orang tersebut sampai kapanpun. Selama ini, dia sudah berkali-kali berbicara tidak mengenakkan yang sifatnya agak pribadi dan saya tidak bisa tolelir itu. Senin shubuh saya curhat dengan seseorang tentang kejadian itu. Dia hanya tertawa kecil dan berkomentar "Kamu yang sabar yaa..." Kemudian hari Senin itu juga waktu saya dalam perjalanan ke kantor, saya berubah pikiran. Saya berpikir untuk memaafkan saja orang itu. Namun, tetap membatasi untuk tidak terlalu sering berkomunikasi dengan orang itu supaya tidak banyak konflik. Saya pun langsung chat via LINE "Aku berubah pikiran. Aku mau maafin orang itu ajalah... Aku pikir ga ada manfaatnya klo aku dendam sama orang itu." Lalu dia menjawab, " Iya, Line... Maafin... Ikhlasin..." Tapi setelah itu, saya tetap melapor ke manajer saya tentang apa yang sudah terjadi dan apa latar belakang masalahnya supaya tidak terjadi salah paham.

Akhirnya hari ini saya harus bertemu dengan orang tersebut karena manajer saya bilang masalah seperti itu harus segera diselesaikan supaya tidak berlarut-larut. Setelah bertemu dengan orang itu dan diminta menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan, kembali saya teringat tentang semua kata-kata tidak mengenakkan yang pernah ditujukan untuk saya. Seketika itu juga ego saya berkuasa. Saya keluarkan semua uneg-uneg saya dengan nada bergetar dan mata berkaca-kaca. Yang bikin emosi? Dia jawab enteng, " Oh, kalau menurut Bapak dan Ibu itu dianggap salah, saya minta maaf." Fine! Dia merasa semuanya itu ga ada yang salah. Mungkin wajah saya terlalu unyu untuk dihargai mentang-mentang dia udah jauh lebih tua dari saya.

Well, I think I change my mind. Saya maafin tapi saya tidak akan pernah mau berhubungan langsung dengan orang itu meskipun urusan pekerjaan. Itu ikhlas namanya? Unfortunately, no. Tuhan, saya masih belajar untuk terus memperbaiki diri. Saya masih tidak mudah untuk ikhlas. Saya masih harus banyak belajar. Mudah-mudahan suatu hari nanti, saya bisa lebih ikhlas dan sabar dalam menerima semuanya. Kelak mudah-mudahan saya akan bisa berkata kepada dia, "Terima kasih sudah mengajarkan arti ikhlas dan sabar. I've got it!"

Mereka yang bikin kamu kecewa... 
Mereka yang bikin kamu sakit hati... 
Hanya media yang dipakai Tuhan untuk mengajarkan sesuatu... 
Supaya kamu semakin pantas di hadapan-Nya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar