Selasa, 07 Juli 2015

Kita Berseberangan! Masalah atau Berkah?

Kita butuh orang yang "berseberangan" dengan kita untuk bisa melihat dan mengerti dunia yang terlalu luas ini...

Seringkali kita dipertemukan dengan orang-orang yang sangat tidak sejalan dengan kita. Cara berpikirnya... Cara berkomunikasinya... Cara berperilaku... Dan masih banyak perbedaan lainnya. Seringkali pula kita mengeluh dan merasa tidak nyaman berada di dekat orang-orang itu.

Empat hari yang lalu saya makan di sebuah restoran. Sendirian, seperti biasanya. Saya memesan semangkok bubur udang yang disajikan di atas piring kecil. Saya bingung kenapa si pelayan restoran tidak memberi saya sendok. Saya melihat sepintas ke atas piring kecil di bawah mangkok bubur itu, biasanya ditaruh disitu. Tidak ada. Saya panggil pelayan restoran dan meminta sendok. Kemudian si pelayan restoran tertawa kecil sambil menunjuk ke piring kecil di bawah mangkok bubur saya sambil berkata, "Itu sendoknya, Bu." Astaga, mata! Sendoknya ada di piring kecil di bawah mangkok bubur itu. Seperti biasanya. Hanya saja diletakkan benar-benar di seberang saya sehingga tidak terlihat oleh saya karena tertutup mangkok bubur.

Dari kejadian kecil itu, saya jadi berpikir ternyata kita butuh orang yang "berseberangan" dengan kita untuk melihat dunia ini secara lengkap, secara lebih sempurna. Saya tidak berharap bisa melihatnya secara sempurna. Saya hanya manusia, rasa-rasanya tidak pantas saya bermain-main dengan kata sempurna. Saya dengan sudut pandang yang biasa saya pakai seringkali hanya melihat setengah dari sebuah masalah, bagaimana latar belakangnya, mengapa terjadi, dan bagaimana pemecahannya. Masalah tersebut akan terpecahkan dengan lebih baik jika ada orang yang duduk bersama dengan saya dan bisa melihat masalah tersebut dari sudut pandang yang sama sekali berbeda dengan saya. Hal yang tidak saya lihat dan tidak terpikirkan oleh saya mungkin saja adalah hal penting bagi dia dan begitu pula sebaliknya. Satu kejadian jadi bisa dinilai lebih objektif dibandingkan kita bertahan dengan apa yang kita yakini sendiri tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. Berdiskusi dengan orang yang terlalu "seragam" dengan kita tentu saja kurang membuat kita bertumbuh. Kita cenderung untuk menggunakan pola pikir yang itu lagi itu lagi... Namun, sebaliknya berdiskusi dengan orang yang "berseberangan" dengan kita sedikit banyak akan merangsang pola pikir kita untuk melihat dunia secara lebih luas dengan cara yang berbeda.

Minggu, 05 Juli 2015

Jenuh Akut feat. Kehangatan

Di saat berada di titik puncak kejenuhan dengan pekerjaan yang saya butuhkan hanya kehangatan. Kehangatan dari orang-orang di sekitar saya. Saya selalu berharap bisa mendapat penghiburan dari orang-orang terdekat saya. Tak perlu muluk-muluk, misalnya perhatian-perhatian kecil, perlakuan yang membuat saya merasa dianggap ada, atau pergi ke suatu tempat melupakan sejenak pekerjaan saya. Tinggal jauh dari keluarga rasa-rasanya hal itu sulit untuk saya dapatkan.

Saya egois? Ya, terkadang saya juga berpikir seperti itu. Apakah saya ini terlalu menuntut lebih? Apakah saya ini terlalu manja? Apakah saya ini terlalu berharap ini dan itu? Apakah saya ini terlalu banyak meminta?

Hidup di tengah keluarga yang penuh perhatian membuat saya memiliki gambaran dunia seperti adanya keluarga saya. Hangat dan penuh perhatian. Tak heran jika akhirnya saya terbentuk untuk cenderung memberi perhatian lebih namun di sisi lain juga menuntut perhatian yang lebih juga. Lingkungan yang nyaman memang cenderung menjadi bumerang bagi kita. Terbiasa berada di lingkungan yang nyaman membuat saya memiliki ekspektasi bahwa dunia ini harus juga menawarkan kenyamanan.

Berkali-kali saya berkata pada diri saya sendiri bahwa saya tidak bisa menuntut dunia menjadi apa maunya saya. Saya yang harus banyak menurunkan ego untuk bisa menyesuaikan diri dengan dunia yang serba unpredictable ini. Saya yang terlalu terbiasa dengan dukungan dari orang lain harus belajar untuk bisa memotivasi diri saya sendiri. Setiap jatuh, saya baru akan bersemangat untuk bangun jika ada support dari orang-orang terdekat saya. Sekarang saya harus banyak-banyak melatih diri untuk bisa bangkit sendiri, menghibur diri sendiri tanpa menuntut bantuan dari orang lain.

Ekspektasi yang berlebih biasanya bakal bikin kecewa khan?!

Saya selalu meminta kepada Tuhan supaya saya semakin mandiri dari hari ke hari. Saya selalu memohon supaya Tuhan ingatkan saya setiap saya mulai menuntut perhatian dari orang-orang terdekat saya. Saya selalu berharap, saya cukup kuat untuk menghadapi semua kesulitan sendiri tanpa mengharapkan dukungan di luar diri saya yang saya sendiri saja tidak tahu kapan dukungan itu akan saya dapatkan.

Namun juga sebaliknya, di saat saya butuh kemampuan ekstra untuk memotivasi diri saya sendiri mungkin saja saya tidak sempat untuk mengemis-ngemis waktu kepada orang lain, mencari yang sengaja menghilang, atau menurunkan ego demi ego orang lain. Saya tidak punya waktu. Hati saya pun juga tidak sanggup. Saya sendiri punya tugas besar yang harus segera diselesaikan.

Jumat, 03 Juli 2015

Jenuh Kerja?

Dulu waktu kuliah tingkat akhir sambil jadi freelancer yang kerjaannya ga pasti ada tiap hari, saya enjoy. Kerja tergantung proyek. Proyeknya pun ga cuma di Jogja aja, ada yang di Jakarta, Cirebon, Bandung, dan sebagainya. Kerjaannya juga macem-macem, kadang adain psikotes, seminar orang tua, handle training untuk publik maupun karyawan perusahaan, sampai training motivasi untuk anak-anak. Ga terasa udah jalanin itu selama lebih kurang 2 tahun. Endingnya? Lumayan berat nglepasnya. Udah suka banget sama kerjaannya. Meskipun begitu, saya tetap pada niat awal : Cobain kerjaan tetap, rutinitas kantor, jadi HRD di sebuah perusahaan. Ketika kesempatan itu datang, sudah sepantasnya saya ambil.

Awal menjalani pekerjaan sebagai HR Section Chief di sebuah textile manufacturing rasanya asyik. Rutinitas yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Rutinitas baru di kehidupan saya. Tanggung jawab kerjaan yang saya dapatkan cukup menantang. Saya tidak hanya bertanggungjawab atas recruitment tapi juga pembentukan sistem di perusahaan, menjalin komunikasi dengan serikat pekerja, bertemu dengan karyawan hampir tiap hari, dan lain-lain. All you can eat pokoknya. Temen-temennya juga welcome banget. Tiap pagi pas bangun tidur yang terpikirkan cuma, "Yeayyy! Kerja lagi! Ngantor lagi! Belajar hal baru lagi..." Perasaan itu tetap terjaga hingga setahun berikutnya.

Setahun kemudian...
Punya partner kerja yang baru artinya punya tugas untuk penyesuaian yang ternyata beneran ngga gampang untuk berusaha cocok. Belum lagi kerjaan yang sudah terasa stuck jalan di tempat yang ga perlu saya jelaskan disini gimana detailnya. Saya merasa jenuh dengan pekerjaan saya. Saya mulai jenuh dengan rutinitas saya. Belum lagi pekerjaan yang terasa seperti lingkaran setan, masalah-masalah tidak ada solusinya, dan hubungan dengan rekan kerja. Semuanya menambah kejengahan saya. Setiap bangun pagi yang saya pikirkan berubah menjadi, "Yahhh...harus banget ngantor ya ini?" Setiap udah di kantor mikirnya jam berapa istirahat dan jam berapa pulang. Setiap awal minggu yang terpikirkan, "Kok lama banget sih ini Sabtu-nya!" (Kenapa bukan Jumat yang ditanyain? Saya kerja sampai hari Sabtu.) Begitu terus sampai saya bertahan dengan perasaan ini setahun lebih. Jadi, saya sudah bekerja di tempat ini selama lebih kurang 2,5 tahun. Satu tahun pertama ngerasa enjoy banget dan sisanya cuma modal dateng aja ke kantor.

Hampir setiap hari saya mengganggu orang-orang terdekat saya dengan curhatan kerjaan yang itu-itu saja. Saya aja bosen ceritanya apalagi mereka yang dengerin ya?! Hampir setiap hari saya mengeluh. Semuanya memberikan masukan sebaiknya resign saja jika memang sudah tidak nyaman. Saya mulai mengumpulkan keberanian untuk mengajukan surat pengunduran diri dan akhirnya minggu pertama Maret kemarin saya serahkan surat pengunduran diri saya yang hingga sekarang belum di-acc itu. Saya pun masih bertahan disini yang entah saya sendiri juga bingung apa alasannya. Kenapa saya ga keukeuh aja toh udah ngajuin beberapa bulan yang lalu? Yang saya pikirkan cuma saya pengen keluar baik-baik dan menurut saya maksa-maksa atasan untuk acc pengunduran diri saya itu akan berbuntut hubungan yang kurang baik. Tapi akhirnya sekarang saya sadar, sesabar-sabarnya saya tetap harus tegas mengambil keputusan. Saya harus punya batas kapan saya akan benar-benar berhenti bekerja karena di luar sana sudah menunggu deretan mimpi saya yang ingin saya capai. Jika saya masih berlama-lama disini, siapa yang rugi? Ya saya sendiri. Saya jadi tidak bebas melakukan hal-hal untuk mencapai mimpi-mimpi saya yang baru.

Melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai itu bikin waktu berjalan terasa lambat. Kita pun juga cenderung melakukan pekerjaan itu setengah hati. Hal itu tentu saja tidak baik buat kita sendiri maupun orang lain yang berhubungan dengan pekerjaan kita. Belum lagi kekesalan kita di kantor kadang berimbas pada hubungan kita dengan orang-orang di rumah dan juga teman-teman. Belum lagi ini jerawat di wajah yang tiba-tiba aja datang bertubi-tubi tanpa permisi. Aaaaargh!!! Cukup menambah daftar kekesalan saya! Ih, kok jadi bawa-bawa jerawatan sih? Iya, kekesalan saya di kantor bikin saya cari-cari alasan untuk jelek-jelekin kerjaan saya sendiri, misalnya "Kok kamu jerawatan?" "Iya nih, udara pabrik khan kotor ya kulitku ga kuat kayaknya." atau "Iya nih, stres kerja." Padahal banyak faktor khan? Bisa aja saya jerawatan karena makan sembarangan, males bersihin wajah, ga cocok sama make up, dan lain-lain. Trus misalnya lagi "Line, kok belanja mulu sih!" "Iya nih, lagi bete sama kerjaan, lagi sebel sama temen kerja, stres!" Padahal bisa aja ya emang saya lagi boros kurang bisa ngendaliin hasrat belanja. Semua kejengahan saya dengan pekerjaan itu bikin saya kurang sebersyukur dulu, bikin saya ga begitu sayang sama diri saya sendiri, bikin saya sering menyalahkan keadaan, dan segala yang kurang baik lainnya. Boro-boro mikirin sukses, mikirin happy apa engga aja saya cuma bisa menghela napas.

Kalau ditanya apa target terdekat saya? RESIGN! Sehingga saya bisa menyudahi segala keluh kesah saya yang bikin kuping orang-orang terdekat saya panas, menyudahi curhatan-curhatan saya tentang pekerjaan yang saya sendiri uda ga enjoy ngejalaninnya, dan yang paling penting bisa mencintai hidup saya kembali seperti waktu dulu.

“Never continue in a job you don’t enjoy. If you’re happy in what you’re doing, you’ll like yourself, you’ll have inner peace. And if you have that, along with physical health, you will have had more success than you could possibly have imagined.” - Johnny Carson