Rabu, 21 Oktober 2015

Balada LDR

Long Distance Relationship hahahahahaaaa... Denger namanya aja udah pengen ketawa sambil nangis-nangis lucu. Jarak membuat semuanya serasa hiperbolis, guys! And it's true!

Dulu saya pernah menjalani LDR selama lebih kurang 1,5 tahun. Setelah melewati usia pacaran lebih kurang 3 tahun. Pada awalnya dipenuhi berbagai macam drama yang ngambek kalau ga ada kabar lah, yang ngambek kalau telfon ga diangkat cepet lah, dan lain-lain. Ngebayangin ya kalau disana dia beneran kerja? Ih, jangan-jangan dia lagi jalan sama cewe? Dia lagi ngapain sih ga ada kabar, pasti macem-macem deh! Namun seiring berjalannya waktu, sebulan dua bulan semuanya kembali normal. Kami saling mengerti kesibukan masing-masing, kami mulai mengenal pola aktivitas masing-masing dan akhirnya kami menemukan waktu yang pas untuk "bertemu" via telepon tentunya, yaitu malam hari di atas jam 9 malam ketika sama-sama sudah tidak beraktivitas. Tentunya dengan sedikit pengorbanan, misalnya saya tahu kalau di atas jam segitu saya selalu telfonan ya saya ga akan main sama temen-temen terlalu larut malam harus pinter bagi waktu mana buat temen dan mana buat dia. Saya ga boleh egois, komunikasi yang baik harus selalu terjaga. Itu khan senjatanya pejuang LDR?!

Setelah lamaaaa ga tatap muka biasanya mulai ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang kuantitasnya makin tinggi dan saat itulah dia tahu kita memang harus ketemu. Biasanya dia suka mendadak bilang "Besok aku pulang deh, kamu kayaknya udah pengen ketemu aku banget. Hehe... Ga cuma kamu sih, aku juga kangen..." KYAAAA!!! Seneng luar biasa. Kita memang ga bisa tiap bulan ketemu seperti yang seringkali pasangan-pasangan lain lakukan. Dia sedang merintis karirnya dan saya sibuk dengan skripsi saya dan kami komit untuk fokus dengan tujuan kami masing-masing. Tapi ya seperti yang sudah saya bilang tadi, ketika memang harus waktunya ketemu ya kami ketemu untuk memupuk kembali hubungan kami.

Kami menjalani LDR dengan cukup baik. Meskipun ada up and down tapi itu hanya kerikil, tidak ada masalah yang terlalu besar yang kami hadapi. LDR membuat kami belajar untuk semakin ga egois, untuk ga terlalu cuek (terutama saya), untuk belajar meyakinkan pasangan bahwa kita masih miliknya satu-satunya, untuk membuat pasangan tenang bahwa kita ga lagi macem-macem kok. LDR itu baik untuk menguji kualitas hubungan kita. Apakah kita benar-benar bisa menjaga status yang baru sekedar "pacaran" meskipun kita ga bisa saling bertatap muka dan ga bisa sama-sama terus?

Lain halnya kalau ceritanya begini...

Kamu menjalin hubungan dengan seseorang layaknya orang pacaran tapi bukan. Hubungan kalian baru seumur jagung, kalian masih dalam tahap saling mengenal satu sama lain, dan mendadak harus saling berjauhan. Boro-boro ga ketemu sebulan, ga ketemu seminggu aja rasanya menyiksa. Apalagi kalau dia terkesan untuk ga tertarik chat panjang sama kita di saat orang lain pada umumnya kalau masih baru ya pasti demen chat panjang gitu, ga bisa tiap hari telfon, dihubungin juga susah jarang diangkat, sebaiknya kamu hijrah ke laut saja kalau ga mau ngerasain yang namanya makan ati. HAHAHAHA!

Yang sering terlintas di pikiran adalah dia lagi pergi sama siapa ya? Dia seneng kali ya aku ngga ada, bisa bebas ngapain aja tanpa aku? Aku itu cuma salah satu dari sekian banyak yang punya hubungan kayak gini sama dia kali ya? Ditelfon ga diangkat, kayaknya dia lagi telfonan sama yang lain deh! Yang berakhir dengan drama, "AKU TUH NGGA BISAAAAA DIGINIIN" *ok, fix! Udah kekinian banget macem anak gaul jaman sekarang!

Menurut saya, LDR lebih berat dijalani oleh orang-orang yang hubungannya tanpa status. Di tengah ketidakjelasan hubungan ditambah dengan pikiran-pikiran hiperbola karena terpisah oleh jarak akan menjadi formula yang mujarab untuk gigit jari dan nangis sendiri di pojokan oh atau boleh deh nangis di bawah shower kalau punya shower. Hehehehe... Tapi kembali lagi ya, dia ga salah! Kalau dia cuek sama kamu, ya kamu lah yang harus tahu diri. Kalau dia ga terlihat mau fight sama hubungan ya kamu yang harusnya pikir ulang. Kamu juga punya kehidupan yang jauh lebih luas daripada sekedar mikirin dia sepanjang hari. Kalau kamu punya waktu luang akan kamu pakai untuk ngobrol sama dia tapi sebaliknya waktu luang yang dia punya mendingan dipakai melakukan hal lain daripada cuma ngobrol sama kamu (yang mungkin bagi dia terkadang membosankan), kamu bisa apa? Daripada meratapi nasib kenapa usaha kita untuk menjalin komunikasi dengan baik tidak direspon sesuai harapan mendingan pikir ulang apakah benar bahwa dia orang yang seharusnya kamu tunggu? Jika jawabannya ya, kenapa kamu tidak berpikir positif saja bahwa dia ga akan kemana kok dia cuma butuh "me time" selain bekerja dan menjalin hubungan sama kamu toh tiap hari selalu ada kabar dari dia meskipun minim. Tapi jika jawabannya tidak, kenapa sekarang kamu masih duduk galau ga jelas mikirin dia?

Pada dasarnya, respon kita terhadap stimulus yang berpengaruh terhadap diri kita sendiri. Jika pasangan kita terlihat cuek, kita bisa memilih untuk menyibukkan diri juga supaya ga terlalu kepikiran sama sikapnya. Respon seperti itu bisa bikin kita merasa lebih baik daripada kita memilih untuk berpikir keras kenapa dia cuek jangan-jangan gini jangan-jangan gitu yang belum tentu benar.


Bukan perbuatan orang terhadap kita yang dapat menyakiti kita. 
Pada dasarnya, respon yang kita pilih terhadap perbuatan mereka itulah yang menyakiti kita. 
Stephen R. Covey

Tidak ada komentar:

Posting Komentar