Jumat, 11 Desember 2015

Don't Ever Try to Break Someone's Heart

Jangan pernah mencoba untuk mematahkan hati seseorang...
Karena kamu tidak akan pernah mengerti, hal apa yang kamu ambil darinya ketika kamu mematahkan hatinya...

Pendapat itu sebenarnya berangkat dari pengalaman saya sendiri. Dulu pasangan saya beberapa kali selingkuh namun berkali-kali pula saya memaafkannya karena menurut saya, orang berhak kok untuk memperbaiki kesalahannya. Namun, berkali-kali pula saya dikecewakan. Tampaknya harapan saya yang terlalu besar. Dulu saya orang yang sangat cuek. Komunikasi seperlunya, telfon cuma kalau malem, sms seperlunya, tapi pasti setiap hari. Serangkaian kejadian tidak mengenakkan itu akhirnya membuat saya sedikit demi sedikit berubah. Saya lebih sering sms, lebih sering telfon, sampai kepo juga social media-nya. Ternyata perubahan sikap saya, masih dibalas dengan kejadian tidak mengenakkan lainnya. Saya pun semakin menjadi-jadi, udah macem satpam kompleks yang siaga 24 jam ngawasin rumah-rumah penduduk, kalau saya ngawasin pasangan dari macan-macan jahil. Satpam aja pake shift ya? Nah, saya? 24 jam meeeen... Hingga akhirnya ya tetap tidak membuahkan hasil tapi saya puas. Kenapa? Karena dengan berperan layaknya detektif, saya jadi gampang tahu hal yang saya tidak tahu. Hal yang dia ga jujur ke saya.

Pengalaman di atas bikin saya tidak mudah lagi percaya sama siapapun. Saya selalu berpikir bahwa siapapun berpotensi mengkhianati saya dan saya wajib melindungi diri dari itu. Saya pernah mengalami sakitnya seperti apa dan saya berusaha untuk ga akan mau lagi mengalami sakit yang semacam itu. Well, hal ini sudah pasti membuat siapapun tidak nyaman dengan saya. Saya yang cemburuan, saya yang mudah curiga. Pikir saya, yang selalu ngabarin aja bisa selingkuh apalagi yang hemat banget ngabarinnya. Yang super sayang sama saya aja bisa selingkuh kok. Yang luar biasa baiknya sama saya bisa selingkuh. Apalagi kalau saya lagi kurang kerjaan, lagi nganggur. Imajinasi saya langsung melayang tinggi, nuduh yang engga-engga. Makanya keadaan paling berbahaya bagi saya adalah ketika tidak ada sesuatupun yang bisa dikerjakan.

Jika kalian sebut saya sedang menyalahkan keadaan. Ya, lebih kurang memang begitu. Namun biarlah itu jadi urusan saya dengan Tuhan. Saya masih terus mencari cara menyembuhkan diri saya sendiri. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah kita sebisa mungkin jangan sampai bikin sakitnya orang karena kita ngga akan tahu efeknya bakal massive atau engga. Misalnya ya kayak cerita di atas, ternyata perlakuan kurang mengenakkan, bikin korbannya jadi "kurang normal". Peduli sedikit, empati sedikit. Kalau ngga mau di-anu-in ya jangan me-anu-i.

Senin, 30 November 2015

Adakah yang Kebetulan di Dunia Ini?

Tadinya saya pikir ada. Banyak sekali hal-hal yang kebetulan di dunia ini. Tapi ternyata semakin lama menjalani hidup, saya makin ngerasa semua itu hanya "seolah-olah" kebetulan. Tuhan sudah mengatur. Semua sudah diatur dengan begitu rapi dan sarat pertimbangan.

Saya terlahir di Klaten sebagai seorang anak sulung yang begitu berlimpah kasih sayang dari ayah dan ibu. Jika sakit, ayah selalu sangat khawatir dan ibu saya meskipun nampak masa bodoh namun diam-diam menyediakan segalanya untuk saya. Ayah yang selalu siap mengantar anak perempuannya kemanapun pergi sampai saya sudah bekerja sekalipun, ibu yang suka jutek namun selalu perfect dalam menyediakan segala sesuatu untuk keluarganya, ayah yang mengajarkan untuk bisa berpikir dengan hati lebih sering dan ibu yang mengajarkan bahwa logika itu penting sebagai pertimbangan mengambil keputusan.

Apakah itu kebetulan?
Tidak, semua itu menjadikan saya ya saya yang seperti sekarang. Saya yang manja, suka minta diperhatiin, ngerepotin pasangan saya karena berharap dia akan memperlakukan saya sama seperti ayah memperlakukan saya. Namun, di saat lain saya bisa jadi berubah menjadi manusia yang sok ga butuh orang lain, mandiri, menyiapkan semuanya sendiri seperti yang saya lihat pada diri ibu saya. Terlahir di Klaten? Kota kecil yang tenang, ga aneh-aneh, dan mengajarkan saya kesederhanaan. Mendorong saya untuk explore dunia luar, hidup merantau dengan harapan mendapatkan hal baru yang ga bisa saya temukan di Klaten karena Klaten bagi saya atmosfernya terlalu santai untuk mencari sesuap nasi sedangkan saya hobi dengan lingkungan kerja yang cukup menantang dan menuntut target harus segera terpenuhi. Namun di tengah dunia yang makin aneh-aneh ini, saya masih cukup lekat dengan ke-Klaten-an saya yang risih kalau terlalu berbuat aneh-aneh.

Ketika masuk SMA, saya sempat berpikir ingin masuk kelas akselerasi saja karena sekolah saya sangat membosankan. Tidak ada ekstrakurikuler tari, musik, dan sebagainya. Pada saat masa orientasi, hanya ditawarkan Mathematic Club, Biology Club, etc. WHAAAAAT??? ARE YOU KIDDING ME??? Di kelas udah belajar banyak-banyak dan sepulangnya dari sekolah masih harus bercengkerama dengan soal-soal itu? Engga deh, makasih. Tapi akhirnya, ketika ditawarkan masuk paskibra sekolah saya pun mencoba bergabung dan batal masuk kelas akselerasi.

Apakah itu kebetulan?
Tidak, saya yang sangat membenci olahraga perlahan senang menjalaninya. Tiap hari harus latihan, masih dihukum push up, sebelum latihan harus lari-lari keliling lapangan untuk pemanasan. Impian saya untuk punya badan lebih berisi (meskipun dikit) akhirnya kesampean gara-gara aktivitas latihan paskibra itu. Sumpah, sebelumnya saya cungkring ga kira-kira. Selain itu, karena paskib akhirnya saya bertemu dengan sahabat saya yang sampai sekarang masih keep in touch. Sahabat yang baik hatinya ga kira-kira, dulu suka nganterin pulang tiap abis latihan paskib, akhirnya setelah sama-sama kuliah di jogja masih suka main bareng baru setelah kerja kita bener-bener pisah. Budi namanya.

Waktu SMA, saya sempat galauin karir. Tadinya dari kecil ngebet banget pengen jadi dokter. Setelah ada praktik ambil darah, saya langsung ngacir ga mau masukin jarum maupun dimasuki jarum. Saya ga bisa ambil darah gitu. Bukan karena darahnya, tapi jarumnya. Saya pikir ulang tentang cita-cita saya. Akhirnya, ayah saya menemukan satu tempat di Jogja yang menyediakan jasa psikotes untuk penggalian potensi diri dan pertimbangan penentuan karir.

Apakah itu kebetulan?
Tidak, setelah hasilnya di daftar karir salah satunya adalah psikologi. Pak Eko dari lembaga itu bilang ke saya, "Besok kalau kamu jadi kuliah psikologi, magang aja disini. Kamu bisa ngetes-ngetes sama training di sini. Banyak belajar." Saya ingat terus pembicaraan itu. Akhirnya setelah saya semester lima, saya bener-bener mendaftar untuk magang di Gloria Edukasindo dan saya banyak mendapat ilmu yang berharga disana. Tempat itu pula yang jadi perhentian saya saat ini selepas saya resign dari tempat kerja saya yang terakhir.

Ketika pemilihan dosen pembimbing skripsi, saya berharap banget dapet satu dosen pembimbing satu itu. Saya ngerasa dia detail, pinter, topik saya sesuai dengan bidangnya, dan nyambung kalau ngobrol. Ternyata saya dapet dosen pembimbing yang lain, saya langsung nangis sejadi-jadinya. Saya bete. Tapi mami bilang, "Tuhan punya rencana."

Apakah itu kebetulan?
Tidak, Tuhan bener-bener luar biasa. Melalui Romo Pri, dosen pembimbing skripsi saya, Tuhan kabulkan doa saya. Waktu itu saya berdoa, "Tuhan, saya mau lulus kuliah tepat waktu." Romo Pri tidak hanya sekedar membimbing saya dengan berbagai teori tapi juga rajin untuk menanyakan progress saya, menyediakan banyak waktu untuk saya (di saat dosen lain sibuk dengan proyeknya sendiri), dan saat itu beliau harus buru-buru pergi ke luar negeri untuk dinas disana sehingga saya harus cepat-cepat menyelesaikan skripsi saya. Di tengah bimbingan skripsi pun, saya masih dapet bonus curhat gratis ke Romo. Alhamdulillah, saya bener-bener lulus tepat waktu. Saya bilang ke mami dan ke banyak orang, "Iya, Tuhan bener-bener perencana yang baik dan menjawab doamu di waktu yang tepat."

Pada saat melamar pekerjaan, salah satunya saya melamar melalui jobsDB. Saya tidak pernah melamar lowongan pekerjaan yang tidak mencantumkan nama perusahaan karena menghindari penipuan. Entah kenapa, ternyata saya mendaftar salah satunya sehingga ketika ditelfon saya bilang saya tidak mendaftar tapi akhirnya saya datang interview juga.

Apakah itu kebetulan?
Kejadian salah lamar itu sama sekali ga kebetulan. Tuhan kembali menjawab doa saya. Dari dulu ketika ditanya, saya pengen kerja dimana saya selalu menjawab, "Manapun lah yang penting di Bandung." Dan jika saat itu saya tidak salah lamar, tidak ada perusahaan di Bandung yang saat itu membuka lowongan yang sesuai keinginan saya. Singkat cerita, bekerjalah saya di Bandung dengan peluang kerja yang ok. Saya banyak belajar di tempat kerja tersebut.

Guys, itu baru sedikit contoh kejadian yang membuktikan bahwa semuanya itu tidak ada yang kebetulan. Saya mengimani dan meyakini bahwa Tuhan sudah merancang hal yang baik untuk umat-Nya. Dia menjawab doa yang Dia anggap baik dan mengganti permohonan yang kurang baik dengan hal yang lebih baik.

Saat ini kita boleh bingung, boleh marah, boleh sedih dengan apa yang sedang menimpa kita. Tapi mari kita sama-sama mengimani bahwa Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua meskipun cara-Nya tidak mudah untuk kita mengerti.

Sabtu, 31 Oktober 2015

Apa sih Rencana Tuhan Sebenarnya?

Saya sudah meminta kepada Tuhan untuk bisa bekerja di sebuah hotel berbintang sebagai HRD selama lebih kurang tiga tahun dan doa itu sampai detik ini masih belum terjawab. Sudah puluhan lamaran kerja yang saya layangkan ke berbagai hotel yang hampir semuanya tidak berbalas. Ada satu dua yang memanggil saya tapi akhirnya tidak "happy ending". Akhirnya, saya bikin batas waktu daripada saya menunggu hal yang tidak kunjung pasti. Ketika bulan November 2015 sudah berakhir, saat itulah saya harus berhenti berharap.

Entahlah apa yang membuat saya masih ngarep aja sampai sekarang padahal jelas-jelas ga dikasih terus sama Tuhan. Kalau lagi terlalu selo, saya suka sebel sendiri. Maksud Tuhan ini apa sih??? Pembicaraan dengan seorang teman, memberikan pandangan lain untuk saya. Dia bilang begini, "Line, menurutmu Tuhan belum jawab ya? Kok kalau menurutku doa 3 tahun dan hasilnya macem gini artinya Tuhan bilang engga ya?!" Perkataannya yang sambil lalu itu bikin saya mikir berulang kali. "Iya juga ya? Tuhan ga kasih kali ya?" Tapi tetep aja masih defense dan ngarep banget bisa terkabul suatu saat. Kali ini saya bener-bener hampir nangis, gemes, sebel sama Tuhan. Apa sih maunya Dia??? Minta kerja di hotel aja susah banget ngasihnya???

Saya yakin suatu saat saya bakal tahu maksud Tuhan di balik ini apa. Tapi saya mau sekarang Tuhan, saya mau sekarang. Saya penasaran kenapa hotel menjadi tempat yang paling saya inginkan sekaligus tempat yang paling Engkau jauhkan dari saya. Sesederhana orang tua yang lagi ngelarang anaknya, "Nak, jangan terlalu banyak makan permen!" "Kenapa, Bunda?" "Kalau terlalu banyak makan permen nanti giginya sakit." Saya juga mau penjelasan seperti itu, Tuhan.

Dari seabreg mimpi-mimpi saya yang meminta untuk direalisasikan, sejujurnya saya masih ngebet sama mimpi yang satu itu. Tapi Tuhan, jika memang nanti akhir November saya ga dapet juga, Insya Allah saya tahu maksud di balik ini apa. Mudah-mudahan saya makin peka dengan kehendak-Mu. Di tengah ketidakpastian ini biarkan saya tetap dekat dengan Engkau hingga akhirnya saya pun ikhlas dengan segala rencana Tuhan untuk saya. Amin.

Rabu, 21 Oktober 2015

Balada LDR

Long Distance Relationship hahahahahaaaa... Denger namanya aja udah pengen ketawa sambil nangis-nangis lucu. Jarak membuat semuanya serasa hiperbolis, guys! And it's true!

Dulu saya pernah menjalani LDR selama lebih kurang 1,5 tahun. Setelah melewati usia pacaran lebih kurang 3 tahun. Pada awalnya dipenuhi berbagai macam drama yang ngambek kalau ga ada kabar lah, yang ngambek kalau telfon ga diangkat cepet lah, dan lain-lain. Ngebayangin ya kalau disana dia beneran kerja? Ih, jangan-jangan dia lagi jalan sama cewe? Dia lagi ngapain sih ga ada kabar, pasti macem-macem deh! Namun seiring berjalannya waktu, sebulan dua bulan semuanya kembali normal. Kami saling mengerti kesibukan masing-masing, kami mulai mengenal pola aktivitas masing-masing dan akhirnya kami menemukan waktu yang pas untuk "bertemu" via telepon tentunya, yaitu malam hari di atas jam 9 malam ketika sama-sama sudah tidak beraktivitas. Tentunya dengan sedikit pengorbanan, misalnya saya tahu kalau di atas jam segitu saya selalu telfonan ya saya ga akan main sama temen-temen terlalu larut malam harus pinter bagi waktu mana buat temen dan mana buat dia. Saya ga boleh egois, komunikasi yang baik harus selalu terjaga. Itu khan senjatanya pejuang LDR?!

Setelah lamaaaa ga tatap muka biasanya mulai ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang kuantitasnya makin tinggi dan saat itulah dia tahu kita memang harus ketemu. Biasanya dia suka mendadak bilang "Besok aku pulang deh, kamu kayaknya udah pengen ketemu aku banget. Hehe... Ga cuma kamu sih, aku juga kangen..." KYAAAA!!! Seneng luar biasa. Kita memang ga bisa tiap bulan ketemu seperti yang seringkali pasangan-pasangan lain lakukan. Dia sedang merintis karirnya dan saya sibuk dengan skripsi saya dan kami komit untuk fokus dengan tujuan kami masing-masing. Tapi ya seperti yang sudah saya bilang tadi, ketika memang harus waktunya ketemu ya kami ketemu untuk memupuk kembali hubungan kami.

Kami menjalani LDR dengan cukup baik. Meskipun ada up and down tapi itu hanya kerikil, tidak ada masalah yang terlalu besar yang kami hadapi. LDR membuat kami belajar untuk semakin ga egois, untuk ga terlalu cuek (terutama saya), untuk belajar meyakinkan pasangan bahwa kita masih miliknya satu-satunya, untuk membuat pasangan tenang bahwa kita ga lagi macem-macem kok. LDR itu baik untuk menguji kualitas hubungan kita. Apakah kita benar-benar bisa menjaga status yang baru sekedar "pacaran" meskipun kita ga bisa saling bertatap muka dan ga bisa sama-sama terus?

Lain halnya kalau ceritanya begini...

Kamu menjalin hubungan dengan seseorang layaknya orang pacaran tapi bukan. Hubungan kalian baru seumur jagung, kalian masih dalam tahap saling mengenal satu sama lain, dan mendadak harus saling berjauhan. Boro-boro ga ketemu sebulan, ga ketemu seminggu aja rasanya menyiksa. Apalagi kalau dia terkesan untuk ga tertarik chat panjang sama kita di saat orang lain pada umumnya kalau masih baru ya pasti demen chat panjang gitu, ga bisa tiap hari telfon, dihubungin juga susah jarang diangkat, sebaiknya kamu hijrah ke laut saja kalau ga mau ngerasain yang namanya makan ati. HAHAHAHA!

Yang sering terlintas di pikiran adalah dia lagi pergi sama siapa ya? Dia seneng kali ya aku ngga ada, bisa bebas ngapain aja tanpa aku? Aku itu cuma salah satu dari sekian banyak yang punya hubungan kayak gini sama dia kali ya? Ditelfon ga diangkat, kayaknya dia lagi telfonan sama yang lain deh! Yang berakhir dengan drama, "AKU TUH NGGA BISAAAAA DIGINIIN" *ok, fix! Udah kekinian banget macem anak gaul jaman sekarang!

Menurut saya, LDR lebih berat dijalani oleh orang-orang yang hubungannya tanpa status. Di tengah ketidakjelasan hubungan ditambah dengan pikiran-pikiran hiperbola karena terpisah oleh jarak akan menjadi formula yang mujarab untuk gigit jari dan nangis sendiri di pojokan oh atau boleh deh nangis di bawah shower kalau punya shower. Hehehehe... Tapi kembali lagi ya, dia ga salah! Kalau dia cuek sama kamu, ya kamu lah yang harus tahu diri. Kalau dia ga terlihat mau fight sama hubungan ya kamu yang harusnya pikir ulang. Kamu juga punya kehidupan yang jauh lebih luas daripada sekedar mikirin dia sepanjang hari. Kalau kamu punya waktu luang akan kamu pakai untuk ngobrol sama dia tapi sebaliknya waktu luang yang dia punya mendingan dipakai melakukan hal lain daripada cuma ngobrol sama kamu (yang mungkin bagi dia terkadang membosankan), kamu bisa apa? Daripada meratapi nasib kenapa usaha kita untuk menjalin komunikasi dengan baik tidak direspon sesuai harapan mendingan pikir ulang apakah benar bahwa dia orang yang seharusnya kamu tunggu? Jika jawabannya ya, kenapa kamu tidak berpikir positif saja bahwa dia ga akan kemana kok dia cuma butuh "me time" selain bekerja dan menjalin hubungan sama kamu toh tiap hari selalu ada kabar dari dia meskipun minim. Tapi jika jawabannya tidak, kenapa sekarang kamu masih duduk galau ga jelas mikirin dia?

Pada dasarnya, respon kita terhadap stimulus yang berpengaruh terhadap diri kita sendiri. Jika pasangan kita terlihat cuek, kita bisa memilih untuk menyibukkan diri juga supaya ga terlalu kepikiran sama sikapnya. Respon seperti itu bisa bikin kita merasa lebih baik daripada kita memilih untuk berpikir keras kenapa dia cuek jangan-jangan gini jangan-jangan gitu yang belum tentu benar.


Bukan perbuatan orang terhadap kita yang dapat menyakiti kita. 
Pada dasarnya, respon yang kita pilih terhadap perbuatan mereka itulah yang menyakiti kita. 
Stephen R. Covey

Rabu, 07 Oktober 2015

Memuji Orang Lain di Depan Pasangan Tidak Dilarang, Tapi Ada Etikanya

"Sayang... si Alice itu kalem banget yaah orangnya... Suka deh liatnya..."
"Itu temenmu namanya siapa sih, Sayang? Oh, Bella ya! Dia pinter dandan ya, udah gitu anaknya rame gampang deket sama orang..."
"Aku ada temen yah (cewe, ngga disebut namanya) dia itu orangnya hebat looh... Meskipun dari keluarga broken home tapi dia ga terjebak pergaulan bebas. Dia malah pinter banget kuliahnya trus aktif juga di organisasi. Trus trus yaaa dia tuh cerita kalau bla bla bla..."

Dan pujian itu diulang terus beberapa kali untuk orang yang sama sampai dia bosen muji dan beralih muji cewe yang lain lagi.

Kamu muji beraneka ragam tipe cewe-cewe di dunia hampir setiap kamu ketemu sama pasanganmu. Sekali-kali bisa khan ya muji cowo?  Kenapa cuma kebaikan cewe aja ya yang keliatan? Saya heran.

Orang bilang baiknya kita membicarakan hal-hal baik dari orang lain dan jangan mencari kejelekan. Itu benar. Tapi semua yang berlebihan itu tidak baik khan? Misalnya, berlebihan memuji cewe lain di depan pasanganmu. Pernah mikir ngga bahwa pasanganmu sekali-sekali pengen jadi seseorang yang kamu kagumi juga? Sekali-sekali mungkin dia merasa minder dengan seabreg temen cewe yang kamu puja-puja itu? Sekali-sekali mungkin dia merasa apa dia ga cukup ok buat jadi pasanganmu sampai harus mendengarkan pujianmu yang agak berlebihan ke cewe-cewe itu? Sekali-sekali pengen merasa juga bahwa dia cukup spesial di mata kamu? Atau kalau tujuanmu pengen kasih masukan ke cewemu, ya langsung aja nasihatin baik-baik ga usah kasih contoh dengan memuji cewe lain secara berlebihan. Atau sebenarnya masalahnya simple, cewe kamu lagi sensi aja karena lagi PMS dan kamu malah membangunkan macan tidur dengan melakukan hal annoying kayak gitu. Oh, come on guys! Kalau cewemu ga kurangajar, kalau cewemu ga macem-macem, please jangan keterlaluan...

Terkadang pujian itu ga selalu harus di-share dan cukup disimpan dalam hati saja. Terkadang kamu perlu menahan ego demi menjaga perasaan pasanganmu. Apa adanya memang perlu tapi saling menjaga perasaan juga perlu. Sekali-sekali memuji pasangan sendiri kayak waktu jaman-jaman PDKT juga perlu. Itu yang seringkali hilang dalam suatu hubungan. Semakin lama menjalin hubungan, semakin terbiasa sama-sama, semakin merasa bahwa memberi pujian itu bukan hal yang penting lagi pikirnya "Toh dia sekarang udah jadi pacar saya".

Flirting-flirting itu mengasyikkan (apalagi buat cowo yang suka sama hal-hal visual). Memulai hubungan baru itu seru. Mempertahankan hubungan? Itu yang sulit.

Rabu, 30 September 2015

Akhirnya Resign Juga! Yeayy!

Hari ini adalah hari kesembilan dimana saya tidak lagi terikat rutinitas kantoran. Hey, akhirnya saya posting juga khan kalau saya resign dari pekerjaan saya? Janji sudah dipenuhi ya! HAHAHA! Awal-awal ga ngantor, baper juga sih rasanya... Terutama karena ga ketemu "anak-anak" saya yang centil, bawel, jutek, dan lucu-lucu tingkahnya itu... Kangen kasih kerjaan ke mereka, kangen ngerumpi bareng di ruangan, kangen ngomongin ibu-ibu rempong yang suka nyinyirin anak-anak muda di kantor #eh! Kangen juga sama temen seruangan yang jobdesc-nya adalah ngomelin orang and lucky her karena kebetulan hobinya juga ngomel. Hehe... Kangen juga sama temen makan yang suka iseng di tengah-tengah jam kerja, ga pernah lupa mampir ruangan saya buat ngajakin makan siang, dan hobi ngajakin makan baso malang pinggir lapangan bola di kompleks kosan saya. Iya, kangennya gitu-gitu aja... Bukan kangen yang lainnya.

Meskipun begitu, saya ga pernah menyesal dengan keputusan saya untuk resign dari pekerjaan saya. Saya butuh tempat yang baru. Tempat yang bikin saya nyaman dengan pekerjaan saya, tempat yang memang saya impikan untuk saya ada disana, dan tempat yang membuka peluang untuk saya bisa lebih mengaktualisasi diri.

Terlepas dari belum bisa move on dari semua kenangan di kantor, saya lega dan bahagia karena akhirnya bisa merealisasikan wacana untuk resign yang udah dibuat sejak setahun terakhir ini. Oh ya, dan satu lagi saya berhasil merealisasikan resolusi saya tahun 2015 ini! HAHAHA! Iya, resign itu saya jadikan salah satu resolusi saya tahun ini.

Berhasil resign bukan berarti saya boleh ongkang-ongkang kaki di kosan. Saya justru punya beban lebih berat. Gimana caranya saya bisa tetap produktif, berbuat sesuatu untuk pengembangan diri saya. Saya orangnya mudah merasa bersalah. Jika merasa tidak berkembang, saya sulit untuk tidak menyalahkan diri saya sendiri. Mudah-mudahan saya bisa cepat meraih mimpi saya selanjutnya ya! Setidaknya langkah pertama sudah dilalui. Saya harus lebih semangat untuk menjalani langkah-langkah selanjutnya.

Kamis, 03 September 2015

Dia Jatuh Cinta (Lagi)

Saya memiliki seorang teman laki-laki. Dia playboy, suka jalan sama cewe manapun, ga setia sama pacarnya, suka mabuk-mabukan, dan suka dugem. Pacarnya sabar banget ngadepin sikap dia yang ga ada bagus-bagusnya itu. Itu kali ya yang dinamakan jodoh? Kita ga butuh alasan buat yakin bahwa dia yang kita pilih untuk jadi yang terakhir. Orang tua si cewe sih menentang hubungan mereka habis-habisan karena tau persis kelakuan temen saya itu kayak gimana. Lalu si cewe mogok makan supaya hubungannya direstui. Karena orang tuanya manjain dia banget, akhirnya direstuilah hubungan mereka dan akhirnya menikah. Menikah itu juga orang tua si cewe ikut campur banget. Mana yang ngebeliin kendaraan lah, mana yang nyediain rumah lah. Padahal temen saya itu juga uda berusaha bisa nyicil rumah meskipun kecil tapi si mertua ga rela kalau anaknya tinggal di rumah kecil.

Setelah menikah, tidak banyak berubah dengan teman saya itu. Kelakuannya ya tetep aja kayak gitu cuma intensitasnya aja yang berkurang. Begitu pula waktu istrinya hamil. Tidak banyak perubahan dengan perilakunya.

Akhirnya istrinya melahirkan anak perempuan yang lucu. Mulai dari situ kehidupan berubah. Teman saya itu mulai berhenti merokok padahal tadinya sehari bisa abis tiga bungkus. Dia mulai tidak tertarik dengan kehidupan malam. Dia tidak lagi nongkrong-nongkrong ga jelas dengan teman-temannya. Dia tidak lagi minum minuman keras. Pekerjaan yang harus diselesaikan katanya ia selesaikan tengah malam ketika anaknya tidur. Alasannya karena kalau sore laptopnya masih dipake anaknya yang suka banget dengerin lagu yang ada di laptopnya.

Semua yang tadinya mustahil untuk berubah dengan mudahnya berbalik. Ketika ditanya kenapa dia jadi beda banget, jawab teman saya cuma begini, "Anak gue, cuyy!" Si kecil sudah berhasil mengubah ayahnya tanpa perlu sepatah katapun terucap dari mulut kecilnya. Teman saya jatuh cinta lagi. Kali ini terlalu dalam. Sampai-sampai dia rela meninggalkan semua kesenangan yang selama ini biasa dia lakukan.

Kalau Cinta, Jangan Drama Ah...

"Sayaang... Kamu kenapa sih ga mau bales smsku?"
"Sayaang... Aku ada salah sama kamu ya? Salahku apa? Maafin deeeeh kalau aku bikin kamu bete..."
"Sayaang... Bales dooong! Jangan diem aja... Kamu udah makan belum?"

"Belum makan. Ga laper."

"Sayaang... Aku di depan kosan nih bukain pintu yaa... Aku bawain makanan buat kamu."

Sampai udah didatengin ke kosan, ujan-ujan, dibawain makanan, si cowo minta maaf, dan si cewe tetep manyun aja. Boro-boro bilang terima kasih atau bikinin teh panas buat pacarnya yang abis kehujanan. Setelah dibujuk dengan berbagai cara akhirnya si cewe luluh dan mau maafin pacarnya.

Malamnya, si cewe update status "Makasih sayaaaang.. Udah bawain  makanan buat aku supaya aku ga ngambek lagi, padahal lagi ujan... Aaaa kamu so sweet deh! Aku sayang kamu... - (Tag nama pacar)"

Duh dek, drama sekali ya Anda!

Mereka bilang cinta itu ketika pacarmu mau antar jemput kamu kapanpun...
Mereka bilang cinta itu ketika pacarmu selalu masakin kamu setiap hari buat bekel kamu...
Mereka bilang cinta itu ketika pacarmu rela hujan-hujan demi anterin makanan...
Dan tindakan-tindakan yang katanya "so sweet" lainnya...

Iya, itu cinta. Dia cinta kamu. Tapi bukan berarti kamu cinta dia. Cinta butuh hubungan yang "saling" khan? Kalau cinta, kenapa kamu ngga langsung ngomong aja kenapa kamu ngambek dan bete sama dia? Kalau cinta, kenapa kamu ga merasa iba ngeliat dia ujan-ujanan cuma demi anterin makanan buat kamu? Kalau cinta, kenapa kamu ga khawatir dia bakal sakit gara-gara nekat ujan-ujanan?

Yuk, saling mencintai!

Kamis, 20 Agustus 2015

Tuhan, Jangan Dulu Ambil Mereka...

Di tengah kesibukan di kantor, tiba-tiba saja saya punya pikiran random. Baru saja ada setumpuk pengajuan uang duka bagi karyawan yang orang tuanya meninggal dunia. "Banyak juga ya kali ini..." pikir saya. Dan dimulailah pikiran-pikiran random. Hitung-hitung usia mereka rata-rata 65-75 tahun. Ah, pada umumnya orang Indonesia jaman sekarang memang meninggalnya usia segitu kalau tidak karena kasus khusus. Tanpa bermaksud mendahului Tuhan, tanpa bermaksud melangkahi kehendak Tuhan, saya iseng hitung usia orang tua saya. Tahun ini usia papi 58 tahun dan usia mami 53 tahun. Itu berarti kalau dihitung berdasarkan panjangnya usia orang Indonesia pada umumnya, saya hanya punya waktu kira-kira 15 tahun lagi buat bisa bareng-bareng sama mereka. AAAAAA... 15 tahun itu khan sebentaaaaar... Sampai usia segini aja kadang pengen pulang kok, kangen sama mereka. Menyadari bahwa apa yang saya punya di dunia ini cuma titipan Tuhan, saya langsung komat-kamit "Please Tuhan Pleaseeeeee... Jangan ambil mereka dulu doooong..."

Saya tumbuh sebagai anak yang tergolong cerdas diantara anak-anak seumuran saya, iya... mereka bilang mereka bahagia...
Saya tumbuh sebagai anak yang penurut, sopan, tau tata krama, iya... mereka bilang mereka bahagia...
Saya punya beberapa prestasi meskipun tidak banyak, tapi ya iya... mereka bilang mereka bahagia...
Saya berhasil lulus kuliah tepat waktu dan langsung mendapat pekerjaan yang bisa dibilang mapan, iya... mereka bilang mereka bahagia...

Tapi...

Saya yang ketika kecil suka rewel ga jelas, pasti terkadang bikin mereka ngerasa cape meskipun ga pernah ngeluh...
Saya yang terkadang suka ngejawab kalau dimarahin, pasti bikin mereka sedih meskipun ga pernah bilang...
Saya yang suka manjanya kumat, pasti bikin mereka kewalahan meskipun mereka ga pernah ngeluh...
Saya yang terkadang suka ngomong dengan nada tinggi karena kebawa cape, pasti juga bikin mereka terpukul meskipun ga pernah bilang...
Saya yang suka lama bales sms atau Whatsapp ketika sudah kerja jauh, pasti juga bikin mereka khawatir dan terkadang merasa dilupakan sama anaknya...
Dan sederet kenakalan-kenakalan lainnya...

Mengingat bahwa sabar dan rasa sayang mereka ke saya ga ada batasnya, saya menyadari bahwa apa yang sudah saya upayakan untuk bahagiain mereka itu belum ada apa-apanya. Pikiran random tadi semakin bikin saya deg-degan. Takut mereka belum cukup bahagia karena saya. Meskipun saya ga akan pernah bisa bales kebaikan mereka, tapi saya pengen setidaknya sampai akhir kehidupan mereka nanti saya sudah cukup bisa membahagiakan mereka.

Teringat keinginan-keinginan mereka yang lagi santer mereka dengungkan...
"Kamu kalau ga nyaman sama kerjaanmu keluar aja. Cari kerjaan yang bikin kamu nyaman."
"Kamu jangan sembarangan cari calon suami. Papi mami ga bisa terus nemenin kamu nantinya kamu hidup ya sama dia."
"Kamu harus jadi orang yang berhasil ya jangan malu-maluin keluarga."
"Nanti kamu punya rumah yang bagus ya, Nik biar kamu betah. Kamu khan susah kalau suruh tinggal di tempat yang ya gitulah kamu tau maksud mami."
Papi yang sudah mulai kegirangan setiap ngeliat anak kecil apalagi ngeliat pasangan muda lagi bawa anak kecil pas lagi jalan-jalan. Itu kode keras banget.

Ah, jadi kangen pengen pulang. Rasanya waktu yang dihabiskan dengan mereka jadi begitu berharga kalau mengingat pikiran-pikiran random tadi.

Mudah-mudahan satu per satu bisa saya wujudkan sebelum Tuhan ambil mereka. Jika Tuhan berkehendak pasti jalannya akan dimudahkan. Doa dari mereka untuk saya juga ga kurang-kurang kok. Saya harus yakin bahwa saya bisa bikin mereka bahagia asalkan saya mau berusaha.

Selasa, 04 Agustus 2015

Masih Perlukah Kita Bertanya "Apa Agamamu?"

Puji Tuhan, beberapa waktu yang lalu saya diberikan kesempatan untuk menginjakkan kaki di Jepang. Ya! Negara yang sudah lama saya impi-impikan untuk bisa saya datangi. Tuhan memang baik, menjawab doa saya di waktu yang telah Ia tentukan :)

Later, saya akan tulis tentang perjalanan, transportasi selama disana, makanan, tempat-tempat yang saya datangi, dan lain sebagainya. Tapi sekarang, saya lebih tertarik untuk bercerita tentang kesan pertama saya waktu disana.

Kota pertama yang saya kunjungi adalah Osaka. Bersih sekali. Cuma itu yang ada di pikiran saya. Setelah turun dari kereta dan mulai berinteraksi langsung dengan warga disana, saya pun merasakan kehangatan. Memang benar kalau kata orang, Indonesia itu ramah. Namun, Jepang menawarkan hal yang berbeda. Bukan sekedar keramahan pada orang asing tapi sikap supel dan ringan tangan yang begitu mudah ditemui. Ketika kita bertanya, mereka terlihat sangat berusaha untuk membuat kita mengerti meskipun dengan penyampaian yang seadanya karena keterbatasan bahasa. Beberapa kali saya menanyakan tentang lokasi yang ingin saya tuju. Mereka berusaha untuk bisa membantu dan membuat saya mengerti.

Suatu hari saya berpapasan dengan orang yang berbeda arah perjalanan dengan saya. Saya menanyakan dimana station yang akan saya tuju dan langsung orang tersebut memutar arah dan bersedia mengantar saya ke gerbang station yang saya maksud. Di lain waktu, saya bertanya kepada orang yang berbeda mengenai kereta mana yang harus saya naiki. Dia dengan sabar membuka handphone mencari petunjuk dan menjelaskan kepada saya dan nyaris ketinggalan kereta yang harus ia naiki. Saya berkata, "Terima kasih, terima kasih. Saya uda ngerti. Itu kamu hampir ketinggalan keretamu." Tapi dia jawab, "Engga, ga masalah. Ini kamu uda paham belum?" Padahal jika tahu keretanya sebentar lagi akan datang, bisa saja dia bilang, "Coba kamu tanya ke bagian informasi. Maaf yaa, saya ga bisa bantu kamu." Astagaaaa, mudah sekali menemukan orang yang tulus membantu disana.

Budaya naik kereta pun berbeda dengan disini. Mereka terbiasa untuk berbaris. Tidak ada satu pun yang main serobot meskipun sedang terburu-buru. Di dalam kereta, meskipun sibuk dengan gadget masing-masing tapi mereka punya toleransi tinggi untuk tidak mengganggu orang lain. Mereka terbiasa untuk tidak membunyikan ringtones, tidak berbicara keras-keras hingga mengganggu penumpang lainnya. Perempuan-perempuan disana pun juga tidak kalah menyita perhatian saya. Di kereta mereka duduk dengan rapi. Hanya sedikit yang menaikkan satu kaki di atas kaki yang lainnya layaknya wanita pada umumnya. Duduk dengan kaki rapat. Mana ada perempuan yang duduknya ngangkang ngga sopan disana?!

Kota yang bersih tentu saja sangat didukung warganya yang punya kesadaran tinggi untuk tidak membuang sampah sembarangan. Di Indonesia sedang diupayakan banyak tempat sampah di tempat-tempat umum supaya warganya tidak malas untuk membuang sampah. Tadinya saya berpikir disana juga banyak tempat sampah makanya bisa bersih gitu. Ternyata cari tempat sampah tuh susahnya minta ampun! Warganya terbiasa untuk menyimpan sampah dulu baru nantinya dibuang di tempat sampah yang cukup jarang ditemui. Salut.

Ketika menggunakan eskalator pun juga teratur. Lajur kiri biasanya untuk orang-orang yang tidak butuh berjalan cepat sedangkan lajur kanan dikosongkan untuk menyediakan jalan bagi orang-orang yang ingin berjalan cepat.

Saya menyimpulkan bahwa inti dari semua itu adalah penghargaan dan kepedulian. Menghargai keberadaan dan kepentingan orang lain. Kepedulian pada yang lain. Kepedulian untuk sebisa mungkin tidak mengganggu kepentingan orang lain. Kepedulian untuk sebisa mungkin membantu orang lain.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, agama mayoritas penduduk Jepang adalah Shinto. Sisanya ada yang memeluk agama Budha, Kristen, Katolik dan dengan prosentase yang lebih kecil lagi ada juga yang memeluk agama Islam. Banyak juga yang tidak memeluk agama apapun.

Mereka memiliki toleransi yang begitu tinggi, seperti ikut merayakan Natal ketika Natal tiba. Tidak enggan untuk ikut berpuasa ketika umat Muslim berpuasa. Tak jarang juga mereka berdoa ke vihara seperti pemeluk agama Budha. Namun, pada prinsipnya mereka tetap pada keyakinan mereka masing-masing.

Saya merasa malu. Hidup di negara yang orang-orangnya mengaku mematuhi perintah agama, yang mengatasnamakan agama dalam setiap hal yang dilakukan namun tidak memiliki rasa kepedulian yang tinggi kepada yang lain. Hidup semau-maunya seolah tidak sadar kita hidup di dunia ini bukan sendiri saja. Katanya agama itu untuk mengarahkan hidup supaya lebih baik lagi? Tapi kenapa di negara yang tidak begitu fanatik bahkan banyak juga yang tidak beragama, saya justru menemukan orang-orang dengan rasa kepedulian yang lebih tinggi?

Sebelum kita saling bertanya, "Apa agamamu?" sebaiknya berbenah diri dulu apakah kita sudah bersikap seperti yang diajarkan Tuhan kita yang bahkan jauh lebih dimengerti oleh orang yang tidak beragama.

Selasa, 07 Juli 2015

Kita Berseberangan! Masalah atau Berkah?

Kita butuh orang yang "berseberangan" dengan kita untuk bisa melihat dan mengerti dunia yang terlalu luas ini...

Seringkali kita dipertemukan dengan orang-orang yang sangat tidak sejalan dengan kita. Cara berpikirnya... Cara berkomunikasinya... Cara berperilaku... Dan masih banyak perbedaan lainnya. Seringkali pula kita mengeluh dan merasa tidak nyaman berada di dekat orang-orang itu.

Empat hari yang lalu saya makan di sebuah restoran. Sendirian, seperti biasanya. Saya memesan semangkok bubur udang yang disajikan di atas piring kecil. Saya bingung kenapa si pelayan restoran tidak memberi saya sendok. Saya melihat sepintas ke atas piring kecil di bawah mangkok bubur itu, biasanya ditaruh disitu. Tidak ada. Saya panggil pelayan restoran dan meminta sendok. Kemudian si pelayan restoran tertawa kecil sambil menunjuk ke piring kecil di bawah mangkok bubur saya sambil berkata, "Itu sendoknya, Bu." Astaga, mata! Sendoknya ada di piring kecil di bawah mangkok bubur itu. Seperti biasanya. Hanya saja diletakkan benar-benar di seberang saya sehingga tidak terlihat oleh saya karena tertutup mangkok bubur.

Dari kejadian kecil itu, saya jadi berpikir ternyata kita butuh orang yang "berseberangan" dengan kita untuk melihat dunia ini secara lengkap, secara lebih sempurna. Saya tidak berharap bisa melihatnya secara sempurna. Saya hanya manusia, rasa-rasanya tidak pantas saya bermain-main dengan kata sempurna. Saya dengan sudut pandang yang biasa saya pakai seringkali hanya melihat setengah dari sebuah masalah, bagaimana latar belakangnya, mengapa terjadi, dan bagaimana pemecahannya. Masalah tersebut akan terpecahkan dengan lebih baik jika ada orang yang duduk bersama dengan saya dan bisa melihat masalah tersebut dari sudut pandang yang sama sekali berbeda dengan saya. Hal yang tidak saya lihat dan tidak terpikirkan oleh saya mungkin saja adalah hal penting bagi dia dan begitu pula sebaliknya. Satu kejadian jadi bisa dinilai lebih objektif dibandingkan kita bertahan dengan apa yang kita yakini sendiri tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. Berdiskusi dengan orang yang terlalu "seragam" dengan kita tentu saja kurang membuat kita bertumbuh. Kita cenderung untuk menggunakan pola pikir yang itu lagi itu lagi... Namun, sebaliknya berdiskusi dengan orang yang "berseberangan" dengan kita sedikit banyak akan merangsang pola pikir kita untuk melihat dunia secara lebih luas dengan cara yang berbeda.

Minggu, 05 Juli 2015

Jenuh Akut feat. Kehangatan

Di saat berada di titik puncak kejenuhan dengan pekerjaan yang saya butuhkan hanya kehangatan. Kehangatan dari orang-orang di sekitar saya. Saya selalu berharap bisa mendapat penghiburan dari orang-orang terdekat saya. Tak perlu muluk-muluk, misalnya perhatian-perhatian kecil, perlakuan yang membuat saya merasa dianggap ada, atau pergi ke suatu tempat melupakan sejenak pekerjaan saya. Tinggal jauh dari keluarga rasa-rasanya hal itu sulit untuk saya dapatkan.

Saya egois? Ya, terkadang saya juga berpikir seperti itu. Apakah saya ini terlalu menuntut lebih? Apakah saya ini terlalu manja? Apakah saya ini terlalu berharap ini dan itu? Apakah saya ini terlalu banyak meminta?

Hidup di tengah keluarga yang penuh perhatian membuat saya memiliki gambaran dunia seperti adanya keluarga saya. Hangat dan penuh perhatian. Tak heran jika akhirnya saya terbentuk untuk cenderung memberi perhatian lebih namun di sisi lain juga menuntut perhatian yang lebih juga. Lingkungan yang nyaman memang cenderung menjadi bumerang bagi kita. Terbiasa berada di lingkungan yang nyaman membuat saya memiliki ekspektasi bahwa dunia ini harus juga menawarkan kenyamanan.

Berkali-kali saya berkata pada diri saya sendiri bahwa saya tidak bisa menuntut dunia menjadi apa maunya saya. Saya yang harus banyak menurunkan ego untuk bisa menyesuaikan diri dengan dunia yang serba unpredictable ini. Saya yang terlalu terbiasa dengan dukungan dari orang lain harus belajar untuk bisa memotivasi diri saya sendiri. Setiap jatuh, saya baru akan bersemangat untuk bangun jika ada support dari orang-orang terdekat saya. Sekarang saya harus banyak-banyak melatih diri untuk bisa bangkit sendiri, menghibur diri sendiri tanpa menuntut bantuan dari orang lain.

Ekspektasi yang berlebih biasanya bakal bikin kecewa khan?!

Saya selalu meminta kepada Tuhan supaya saya semakin mandiri dari hari ke hari. Saya selalu memohon supaya Tuhan ingatkan saya setiap saya mulai menuntut perhatian dari orang-orang terdekat saya. Saya selalu berharap, saya cukup kuat untuk menghadapi semua kesulitan sendiri tanpa mengharapkan dukungan di luar diri saya yang saya sendiri saja tidak tahu kapan dukungan itu akan saya dapatkan.

Namun juga sebaliknya, di saat saya butuh kemampuan ekstra untuk memotivasi diri saya sendiri mungkin saja saya tidak sempat untuk mengemis-ngemis waktu kepada orang lain, mencari yang sengaja menghilang, atau menurunkan ego demi ego orang lain. Saya tidak punya waktu. Hati saya pun juga tidak sanggup. Saya sendiri punya tugas besar yang harus segera diselesaikan.

Jumat, 03 Juli 2015

Jenuh Kerja?

Dulu waktu kuliah tingkat akhir sambil jadi freelancer yang kerjaannya ga pasti ada tiap hari, saya enjoy. Kerja tergantung proyek. Proyeknya pun ga cuma di Jogja aja, ada yang di Jakarta, Cirebon, Bandung, dan sebagainya. Kerjaannya juga macem-macem, kadang adain psikotes, seminar orang tua, handle training untuk publik maupun karyawan perusahaan, sampai training motivasi untuk anak-anak. Ga terasa udah jalanin itu selama lebih kurang 2 tahun. Endingnya? Lumayan berat nglepasnya. Udah suka banget sama kerjaannya. Meskipun begitu, saya tetap pada niat awal : Cobain kerjaan tetap, rutinitas kantor, jadi HRD di sebuah perusahaan. Ketika kesempatan itu datang, sudah sepantasnya saya ambil.

Awal menjalani pekerjaan sebagai HR Section Chief di sebuah textile manufacturing rasanya asyik. Rutinitas yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Rutinitas baru di kehidupan saya. Tanggung jawab kerjaan yang saya dapatkan cukup menantang. Saya tidak hanya bertanggungjawab atas recruitment tapi juga pembentukan sistem di perusahaan, menjalin komunikasi dengan serikat pekerja, bertemu dengan karyawan hampir tiap hari, dan lain-lain. All you can eat pokoknya. Temen-temennya juga welcome banget. Tiap pagi pas bangun tidur yang terpikirkan cuma, "Yeayyy! Kerja lagi! Ngantor lagi! Belajar hal baru lagi..." Perasaan itu tetap terjaga hingga setahun berikutnya.

Setahun kemudian...
Punya partner kerja yang baru artinya punya tugas untuk penyesuaian yang ternyata beneran ngga gampang untuk berusaha cocok. Belum lagi kerjaan yang sudah terasa stuck jalan di tempat yang ga perlu saya jelaskan disini gimana detailnya. Saya merasa jenuh dengan pekerjaan saya. Saya mulai jenuh dengan rutinitas saya. Belum lagi pekerjaan yang terasa seperti lingkaran setan, masalah-masalah tidak ada solusinya, dan hubungan dengan rekan kerja. Semuanya menambah kejengahan saya. Setiap bangun pagi yang saya pikirkan berubah menjadi, "Yahhh...harus banget ngantor ya ini?" Setiap udah di kantor mikirnya jam berapa istirahat dan jam berapa pulang. Setiap awal minggu yang terpikirkan, "Kok lama banget sih ini Sabtu-nya!" (Kenapa bukan Jumat yang ditanyain? Saya kerja sampai hari Sabtu.) Begitu terus sampai saya bertahan dengan perasaan ini setahun lebih. Jadi, saya sudah bekerja di tempat ini selama lebih kurang 2,5 tahun. Satu tahun pertama ngerasa enjoy banget dan sisanya cuma modal dateng aja ke kantor.

Hampir setiap hari saya mengganggu orang-orang terdekat saya dengan curhatan kerjaan yang itu-itu saja. Saya aja bosen ceritanya apalagi mereka yang dengerin ya?! Hampir setiap hari saya mengeluh. Semuanya memberikan masukan sebaiknya resign saja jika memang sudah tidak nyaman. Saya mulai mengumpulkan keberanian untuk mengajukan surat pengunduran diri dan akhirnya minggu pertama Maret kemarin saya serahkan surat pengunduran diri saya yang hingga sekarang belum di-acc itu. Saya pun masih bertahan disini yang entah saya sendiri juga bingung apa alasannya. Kenapa saya ga keukeuh aja toh udah ngajuin beberapa bulan yang lalu? Yang saya pikirkan cuma saya pengen keluar baik-baik dan menurut saya maksa-maksa atasan untuk acc pengunduran diri saya itu akan berbuntut hubungan yang kurang baik. Tapi akhirnya sekarang saya sadar, sesabar-sabarnya saya tetap harus tegas mengambil keputusan. Saya harus punya batas kapan saya akan benar-benar berhenti bekerja karena di luar sana sudah menunggu deretan mimpi saya yang ingin saya capai. Jika saya masih berlama-lama disini, siapa yang rugi? Ya saya sendiri. Saya jadi tidak bebas melakukan hal-hal untuk mencapai mimpi-mimpi saya yang baru.

Melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai itu bikin waktu berjalan terasa lambat. Kita pun juga cenderung melakukan pekerjaan itu setengah hati. Hal itu tentu saja tidak baik buat kita sendiri maupun orang lain yang berhubungan dengan pekerjaan kita. Belum lagi kekesalan kita di kantor kadang berimbas pada hubungan kita dengan orang-orang di rumah dan juga teman-teman. Belum lagi ini jerawat di wajah yang tiba-tiba aja datang bertubi-tubi tanpa permisi. Aaaaargh!!! Cukup menambah daftar kekesalan saya! Ih, kok jadi bawa-bawa jerawatan sih? Iya, kekesalan saya di kantor bikin saya cari-cari alasan untuk jelek-jelekin kerjaan saya sendiri, misalnya "Kok kamu jerawatan?" "Iya nih, udara pabrik khan kotor ya kulitku ga kuat kayaknya." atau "Iya nih, stres kerja." Padahal banyak faktor khan? Bisa aja saya jerawatan karena makan sembarangan, males bersihin wajah, ga cocok sama make up, dan lain-lain. Trus misalnya lagi "Line, kok belanja mulu sih!" "Iya nih, lagi bete sama kerjaan, lagi sebel sama temen kerja, stres!" Padahal bisa aja ya emang saya lagi boros kurang bisa ngendaliin hasrat belanja. Semua kejengahan saya dengan pekerjaan itu bikin saya kurang sebersyukur dulu, bikin saya ga begitu sayang sama diri saya sendiri, bikin saya sering menyalahkan keadaan, dan segala yang kurang baik lainnya. Boro-boro mikirin sukses, mikirin happy apa engga aja saya cuma bisa menghela napas.

Kalau ditanya apa target terdekat saya? RESIGN! Sehingga saya bisa menyudahi segala keluh kesah saya yang bikin kuping orang-orang terdekat saya panas, menyudahi curhatan-curhatan saya tentang pekerjaan yang saya sendiri uda ga enjoy ngejalaninnya, dan yang paling penting bisa mencintai hidup saya kembali seperti waktu dulu.

“Never continue in a job you don’t enjoy. If you’re happy in what you’re doing, you’ll like yourself, you’ll have inner peace. And if you have that, along with physical health, you will have had more success than you could possibly have imagined.” - Johnny Carson

Selasa, 30 Juni 2015

Hey Kamu, Selamat Ya :)

Hari ini adalah salah satu hari penting buat kamu dan juga teman-temanmu. Hari yang memberikan jawaban atas perjuanganmu selama hampir 6 tahun ini. Hari yang merupakan hari penentuan akan melangkah kemana kamu selanjutnya. Apakah kamu boleh benapas lega karena satu mimpi sudah berhasil kamu raih dan saatnya kamu mulai melukis dan meraih mimpi-mimpi yang lain? Ataukah Tuhan berkehendak kamu masih harus merajut mimpi yang sama karena hasil hari ini tidak sesuai yang diharapkan?

Tiba-tiba pukul 10 pagi handphone-ku berbunyi. Oh, ternyata ada satu pesan singkat dari kamu. Kamu lulus. I am proud of you. Aku berkaca-kaca dan mulai menitikkan air mata. Ya, kamu tahu. Aku lebay seperti biasanya, mudah sekali tersentuh. Rasanya ingin loncat-loncat kegirangan. Aku bilang sama Tuhan, terima kasih atas penyertaan dan bimbingan-Nya untukmu selama ini. Terima kasih karena Tuhan sudah mengabulkan doaku, doamu, dan doa orang-orang yang menyayangimu. Sekali lagi, Tuhan menunjukkan kebesaran dan kebaikan-Nya. Dengan penyertaan-Nya, kamu sudah berhasil mewujudkan harapan besarmu, harapan orang tuamu, dan harapan orang-orang yang menyayangimu.

Selamat karena akhirnya kamu sampai pada kebahagiaan hari ini...
Selamat atas terwujudnya satu mimpi besarmu...
Selamat karena telah berhasil mewujudkan harapan keluargamu...
Selamat karena telah membuat bangga orang-orang yang selama ini menaruh harapan besar untukmu...
Selamat karena untuk yang kesekian kalinya kamu kembali merasakan nikmat Tuhan yang luar biasa di hidupmu...

Mudah-mudahan hari ini menjadi awal yang baik untuk mimpi-mimpimu selanjutnya...
Mudah-mudahan hari ini menjadi pengingat untuk sesekali menoleh ke belakang bahwa tidak mudah untuk kamu sampai pada step ini...
Mudah-mudahan hari ini menjadi cerminmu bahwa masih banyak yang perlu dipelajari di luar sana...
Mudah-mudahan ilmu yang kamu punya bisa bermanfaat bagi banyak orang...
Mudah-mudahan ilmu yang kamu punya tidak membuatmu congkak melainkan tetap rendah hati...
Mudah-mudahan kelak kamu bisa menjunjung tinggi profesimu dimanapun kamu berada...

Sekali lagi, selamat merayakan kebahagiaan atas kabar gembira hari ini dan selamat berjuang untuk mimpi-mimpimu selanjutnya...

I am happy for you  ^.^ /

Senin, 29 Juni 2015

Makna dari "Kalau sudah sampai, kabarin yaa..."

Pernah ngga kamu ngerasa direcokin pasangan karena tiap pergi selalu dikasih pesen, "Kalau sudah sampai, kabarin yaa..." ? Pernah ngga kamu ngerasa direcokin pasangan ketika kamu udah sampai dan dengan sengaja atau memang lupa ngabarin trus pasanganmu sms dan telfon-telfon ga berhenti? Pernah ngga kamu marah-marah sama pasanganmu hanya gara-gara dia menuntut kabar dari kamu? Kalau jawabannya pernah, bolehkah saya mengajukan pertanyaan terakhir? Kamu tulus menyayangi pasanganmu atau tidak?

Sekarang sebaliknya. Pernah ngga kamu ngrecokin pasangan dengan selalu kasih pesen, "Kalau sudah sampai, kabarin yaa..." tiap dia pamit mau pergi? Pernah ngga kamu ngrecokin pasangan dengan sms atau telfon-telfon yang membabibuta karena kalau kamu kira-kira mustinya dia udah sampai tapi kenapa ga ada kabar ke kamu? Pernah ngga kamu dimarahin pasanganmu karena kamu dianggap posesif lah, bawel lah, dan lain-lain hanya karena kamu menuntut kabarnya? Kalau jawabannya pernah, bolehkah saya mengajukan pertanyaan terakhir? Seberapa yakinkah kamu bahwa pasanganmu benar-benar menyayangi kamu?

Apa sih sebenernya makna dari "Kalau sudah sampai, kabarin yaa..." ?

Menurut saya pribadi, pesan itu tidak seharusnya diabaikan oleh pasangan saya dan begitu pula sebaliknya. Apa yang salah dari "Kalau sudah sampai, kabarin yaa..." toh kamu hanya perlu menyisihkan sedikit waktu dan energi untuk sekedar menulis pesan atau telfon singkat, "Aku sudah sampai...".

Jika kamu sudah memasuki "fase rasa sayang" yang cukup tinggi, makna dibalik pesan itu adalah kamu khawatir terjadi apa-apa di jalan, kamu khawatir dia belum sampai tujuan karena suatu hal yang menyulitkannya, dan kamu khawatir sesuatu yang buruk sedang terjadi. Ketika pasangan pamit mau pergi, saya tidak pernah lupa untuk mengatakan itu dan mulai saat itu pun seperti sudah terprogram saya langsung meminta Tuhan untuk menjaganya dari segala macam hal yang jahat dan buruk, supaya Tuhan tetap ada di sampingnya apapun yang terjadi, supaya Tuhan melindunginya dari segala macam marabahaya.

Makna pesan itu tidak lagi terselip ego, misalnya "Oh, kalau ga ada kabar gini jangan-jangan dia sama yang lain!" "Oh, dia selalu lupa sama aku kalau udah pergi tanpa aku!" dan prasangka-prasangka buruk lainnya. Saya pikir bukan saatnya lagi saya punya pikiran kekanak-kanakan seperti itu. Bukan jamannya lagi saya membombardir dia dengan beribu pertanyaan pedas dan judgement, misalnya, "Kamu dimana ngaku!" "Kenapa ga ada kabar! Kamu lagi bohongin aku khan??" "Kamu pergi sama temen-temen atau selingkuh sih?!" dan pertanyaan-pertanyaan childish lainnya.

Pada kenyataannya, jika tidak kunjung ada kabar saya merasa deg-degan dan takut. Bukan deg-degan dia lagi sama yang lain. Bukan takut dia selingkuh. Tapi khawatir dia kenapa-kenapa. Ketika ada pesan singkat, "Aku sudah sampai..." saya langsung lega dan bersyukur karena Tuhan menjaganya. Sudah sampai disitu. Saya tidak menuntut dia untuk ngobrol dengan saya via chat sepanjang waktu di saat dia harus bekerja, dia berkumpul dengan keluarganya, atau dia butuh waktu berkumpul dengan teman-temannya. Hidup ini bukan hanya tentang saya dan dia khan?

Kembali pada pribadi masing-masing. Saya juga tidak bisa memaksa pasangan saya untuk sepaham dengan saya. Saya selalu menjalani apa yang saya yakini itu benar. Namun, jika gayung tidak bersambut, misalnya dia tidak pernah punya inisiatif untuk langsung memberi kabar ketika sudah sampai tujuan padahal dia tahu saya menunggu kabarnya, musti ditanya-tanya lagi demi saya tahu dia baik-baik saja lama-kelamaan saya juga akan mundur. Saya anggap dia tidak sepaham dengan saya. Saya harus mulai sadar bahwa kekhawatiran saya yang lebay itu tidak ada artinya bagi dia. Namun, semua itu pasti akan berpengaruh pada kualitas rasa sayang saya kepada pasangan saya. Ketika saya sudah tidak peduli aktivitasnya lagi. Ketika saya sudah tidak bawel lagi meminta kabar. Ketika saya sudah menyerahkannya kembali kepada Tuhan karena saya sudah cukup lelah berjalan bersama dengan pasangan yang tidak sepaham dengan saya. Sampai saat ini, saya masih beranggapan bahwa pada saatnya nanti, semua orang akan melakukan hal yang sama dengan apa yang saya lakukan di atas jika dia sudah merasa menemukan pasangan yang tepat. Saya pun berharap siapapun nanti yang akan jadi pasangan hidup saya, memaknai pesan, "Kalau sudah sampai, kabarin yaa..." persis seperti saya memaknai pesan tersebut. Tulus. Tanpa merasa ngrecokin dan direcokin.

Kamis, 25 Juni 2015

Romantis Itu...

Sebagian besar cewe punya standart romantis yang nyaris sama. Menurut mereka romantis itu apa? Kata mereka, romantis itu ketika pacar tiba-tiba kasih surprise yang bawain bunga lah, bawain kue lah, kirim puisi romantis, sampai kasih rekaman lagu yang dia nyanyiin khusus buat si cewe, daaaan masih banyak surprise-surprise so sweet lainnya.

Saya? Siapa bilang saya ga suka dikasih surprise? Siapa bilang saya ga suka kue dan boneka? Sekali-sekali juga pengen tapi apa daya ga pernah punya pacar romantis. Hahahahaaa... *ngenes banget lho, Line!

Tapi masalahnya standart romantis saya memang beda. Mungkin itu juga yang bikin pacar-pacar saya males kasih-kasih suprise yang begituan karena hanya akan berbalas dengan, "Makasiiih..." dengan nada riang yang terkesan dipaksain dan poker face. (Eh, padahal saya uda berusaha banget ngeluarin ekspresi riang gembira dan kaget loooh! Tapi yang keluar malah poker face saya... Huhuhuuu...) Yang merasa pernah menghujani saya dengan surprise-surprise itu, please jangan ngerasa saya ngga menghargai, beneran saya bahagia saya seneng tapi saya memang ga ekspresif! Trust me! Hahahaaa... Tapi tindakan-tindakan seperti itu cuma tindakan yang menciptakan kebahagiaan sekejap saja. Itu kalau saya sih yaaa...

Jadi apa dong standart romantis saya? Yang bikin saya sok-sokan manja... Yang bikin saya senyum-senyum ga jelas... Yang bikin saya pengen treat pasangan lebih baik lagi...

Romantis itu...
Ketika dia ngeliat mata saya dalem dan ga lama kemudian senyum sambil cubit pipi saya atau usap-usap rambut saya...

Romantis itu...
Ketika dia menyelesaikan aktivitasnya sampai larut malam tapi sempat menghampiri saya hanya untuk membawakan makanan atau es krim favorit saya sambil bilang, "Ini dimakan ya... Pasti kamu laper..." Sambil ngeluarin senyum mautnya dan seperti biasa usap-usap rambut lalu cium kening saya.

Romantis itu...
Ketika dia bertanya, "Kamu pulang les jam berapa?" "Oh, uda malem. Aku yang jemput aja." Padahal di sisa waktunya yang sedikit di hari itu bisa saja dia memilih untuk istirahat.

Romantis itu...
Ketika kita mau pisah, dia cium kening saya lalu bilang, "Hati-hati... Kabarin..." atau "Semangat kerjanya!" sambil ngeliatin dengan tatapan hangatnya.

Romantis itu...
Ketika di tengah kesibukannya dia sempat mengirimkan pesan singkat, "Miss you..." dan sukses bikin saya senyum-senyum seharian dan menyelesaikan pekerjaan jauh lebih banyak dari biasanya (yang ini ga lebay, seriusan!). Tapi meskipun saya suka kata-katanya yang begitu, jangan harap saya suka digombalin sama banyak orang ya! Saya paling pinter bedain mana gombalan main-main dan mana gombalan yang tulus. Uda kebal sama yang begituan! 

Kata artikel, cewe libra memang paling suka diperlakukan dengan manis oleh pasangannya. Ah, saya ga peduli mau kata zodiak, mau kata ramalan, atau apalah itu! Yang penting saya suka hal-hal di atas karena itu bukti nyata bahwa pasangan peduli dengan saya ga cuma kalau lagi ada maunya dan memang dia tulus melakukan itu. Mata ga akan pernah bohong khan?! Saya lebih suka tindakan nyata yang meskipun ga bisa disimpan tapi bisa dirasakan ketimbang dapet barang yang meskipun bisa disimpan tapi efeknya hanya sesaat.

Ternyata hal yang bagi sebagian besar orang itu romantis, bagi sebagian orang itu biasa saja. Sebaliknya, yang bagi sebagian besar orang biasa saja, ternyata bagi sebagian orang lagi itu romantis. Tinggal pandai-pandainya kita untuk mengenali pasangan kita masing-masing.

So, sudah membahagiakan pasanganmu hari ini?

Selasa, 23 Juni 2015

Peperangan Hati

Dua hari yang lalu saya mendapat sms yang ga ngenakin dari salah satu pengurus serikat pekerja. Oh iya, saya belum cerita. Jadi saya saat ini bekerja sebagai HR Section Chief di salah satu perusahaan textile manufacturing di Bandung. Pekerjaan ini salah satunya menuntut saya untuk sering-sering bernegosiasi dengan serikat pekerja yang terkadang asyik diajakin diskusi, kadang suka ngajakin berantem, tapi terkadang mereka juga lucu menggemaskan. *cross fingers*

Dari awal saya sudah tahu bahwa risiko bekerja di posisi ini adalah dibenci karyawan, mendapat perlakuan tidak mengenakkan, dan ujian-ujian kesabaran lainnya. Saya juga tahu betul bahwa hal-hal tersebut tidak mudah dijalani buat pribadi seperti saya. Saya yang sensitif... Saya yang ngga sabaran... Saya yang ga pinter mengelola emosi... Saya yang masih suka kebawa-bawa mood apalagi kalau lagi PMS. Tapi kenapa dua setengah tahun yang lalu akhirnya saya memutuskan untuk mengambil pekerjaan ini? Saya pikir saya harus keluar dari zona nyaman saya. Saya seharusnya tidak tinggal di lingkungan yang rasa-rasanya selalu bersahabat dengan saya. Saya butuh lingkungan untuk melatih manajemen emosi, belajar untuk tidak tergantung mood, dan lingkungan yang bisa membuat saya lebih sabar menghadapi berbagai macam hal.

Kembali ke cerita yang tadi. Pasca kejadian itu, saya bertekad untuk tidak lagi berhubungan dengan orang tersebut secara langsung. Saya juga bertekad untuk tidak akan pernah memaafkan orang tersebut sampai kapanpun. Selama ini, dia sudah berkali-kali berbicara tidak mengenakkan yang sifatnya agak pribadi dan saya tidak bisa tolelir itu. Senin shubuh saya curhat dengan seseorang tentang kejadian itu. Dia hanya tertawa kecil dan berkomentar "Kamu yang sabar yaa..." Kemudian hari Senin itu juga waktu saya dalam perjalanan ke kantor, saya berubah pikiran. Saya berpikir untuk memaafkan saja orang itu. Namun, tetap membatasi untuk tidak terlalu sering berkomunikasi dengan orang itu supaya tidak banyak konflik. Saya pun langsung chat via LINE "Aku berubah pikiran. Aku mau maafin orang itu ajalah... Aku pikir ga ada manfaatnya klo aku dendam sama orang itu." Lalu dia menjawab, " Iya, Line... Maafin... Ikhlasin..." Tapi setelah itu, saya tetap melapor ke manajer saya tentang apa yang sudah terjadi dan apa latar belakang masalahnya supaya tidak terjadi salah paham.

Akhirnya hari ini saya harus bertemu dengan orang tersebut karena manajer saya bilang masalah seperti itu harus segera diselesaikan supaya tidak berlarut-larut. Setelah bertemu dengan orang itu dan diminta menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan, kembali saya teringat tentang semua kata-kata tidak mengenakkan yang pernah ditujukan untuk saya. Seketika itu juga ego saya berkuasa. Saya keluarkan semua uneg-uneg saya dengan nada bergetar dan mata berkaca-kaca. Yang bikin emosi? Dia jawab enteng, " Oh, kalau menurut Bapak dan Ibu itu dianggap salah, saya minta maaf." Fine! Dia merasa semuanya itu ga ada yang salah. Mungkin wajah saya terlalu unyu untuk dihargai mentang-mentang dia udah jauh lebih tua dari saya.

Well, I think I change my mind. Saya maafin tapi saya tidak akan pernah mau berhubungan langsung dengan orang itu meskipun urusan pekerjaan. Itu ikhlas namanya? Unfortunately, no. Tuhan, saya masih belajar untuk terus memperbaiki diri. Saya masih tidak mudah untuk ikhlas. Saya masih harus banyak belajar. Mudah-mudahan suatu hari nanti, saya bisa lebih ikhlas dan sabar dalam menerima semuanya. Kelak mudah-mudahan saya akan bisa berkata kepada dia, "Terima kasih sudah mengajarkan arti ikhlas dan sabar. I've got it!"

Mereka yang bikin kamu kecewa... 
Mereka yang bikin kamu sakit hati... 
Hanya media yang dipakai Tuhan untuk mengajarkan sesuatu... 
Supaya kamu semakin pantas di hadapan-Nya...

Senin, 22 Juni 2015

Hikmah Puasa

Hari ini sudah hari kelima puasa. So far so good...
Akhirnya tahun ini saya memutuskan untuk ikutan puasa setelah beberapa kesempatan terlewatkan begitu saja. Hari pertama berjalan sangat lancar karena masih semangat '45. Hari kedua agak ada godaan, maklum cewe ada masa-masa PMS. Ga ada angin, ga ada hujan bawaannya pengen marah. Ada yang kerja ga bener dikit, langsung bawaannya pengen comment. Uda gitu, saya kalau kasih comment pas lagi PMS nadanya ga ngenakin. Uda sempet keceplosan agak nyolot ke salah satu staff (batal ngga ya?!). Abis itu nyadar, "Ya ampuuuun... tahan! Tahan!" dan berakhir dengan curcol via LINE "Aku harus nahan-nahan biar ga emosi mulai hari ini.. Tanggal-tanggal segini aku sensitif... Hahahaa... Pantesan dari tadi bawaannya pengen banting-banting apapun gitu... Liat kalender ternyata tanggal 20." dan berakhir dengan sepenggal semangat dari dia "Hahaha... Cie pms yaaa... Ayo ditahan-tahan, berarti godaannya lebih berat ini..." Abis chat singkat itu, saya berusaha untuk bisa menghadapi siapapun dengan sabar.


Sepulang dari kantor, langsung jalan kaki cari takjil karena kalau nanti uda di kos bawaannya males keluar lagi. Jalan... Terus jalan... Jalan lagi... Ini pada kemana ya yang jualan takjil? Akhirnya setelah jalan kaki agak jauh, ketemu deh ada yang jualan macem-macem kolak, es campur, dan sop buah. Saya memutuskan untuk ga cari-cari lagi, berhenti disitu, trus langsung pesen sop buah sama gado-gado. Saya butuh serat! HAHAHA! Pas nunggu dibikinin sop buah sama gado-gado, saya cuma duduk ngeliatin jalan. Sambil bengong, saya flashback puasa dua hari itu yang uda saya jalanin, tiba-tiba mata saya berkaca-kaca dan hati saya bergetar. Saya bersyukur bisa melewati dua hari itu dengan cukup baik. Ternyata puasa ga cuma belajar prihatin menahan nafsu makan dan minum (yang seringkali membabibuta). Puasa juga bikin makin sabar, makin males ngomong ga penting yang terlalu banyak. Puasa juga bikin makin merasa "dipeluk" Tuhan dan semakin sering inget Tuhan di setiap kesempatan. Rasa yang uda lama banget ga saya rasain.



Ternyata selama ini saya rindu...
Rindu memeluk Tuhan...
Tuhan tidak pernah absen memeluk saya...
Tapi saya rindu...
Rindu merasa dipeluk Tuhan...


Setelah perenungan sore itu, saya makin menggebu-gebu untuk menjalani puasa saya lebih sungguh-sungguh. Mudah-mudahan bisa tahan dari berbagai godaan sampai akhir puasa nanti. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi teman-teman yang menjalankan! Tuhan Memberkati :) 

Sabtu, 20 Juni 2015

Hello, World!

Ah, senang sekali... Akhirnya blog ini lahir juga. Sudah lama sekali saya mengimpi-impikan punya blog sebagai media untuk menulis apapun yang ingin saya bagi ke orang lain atau sekedar mengekspresikan perasaan yang sedang saya rasakan. Sejak duduk di bangku SD saya sudah sangat familiar dengan yang namanya diary hingga saya duduk di bangku SMA. Mungkin itu juga salah satu sebab mengapa saya jauh lebih suka menulis daripada berbicara langsung. Sekarang saya menemukan diary itu lagi. Bedanya kalau dulu diary saya gembok supaya tidak dibaca orang lain, sekarang saya bikin blog ini supaya tulisan saya tidak hanya saya nikmati sendiri namun juga bisa dinikmati oleh banyak orang.

Mudah-mudahan blog ini tidak hanya media untuk saya bisa mengekspresikan diri namun lebih dari itu bisa memberikan manfaat bagi semua pembaca ya! Saya akan sangat senang jika ada yang berkenan memberikan masukan, pendapat, atau tanggapan atas tulisan-tulisan saya nanti. Enjoy :)